WahanaNews.co | Kerap terjadi,
seseorang kehilangan kendaraannya saat diparkir di sebuah mal atau area publik
lain yang ada pengelolanya.
Kini muncul tren baru lagi, seseorang membeli apartemen atau properti
lainnya secara indent, tapi sampai
bertahun-tahun tidak mendapatkan kepastian penyerahterimaan unit miliknya itu.
Baca Juga:
Dirjen PKTN: Konsumen Cerdas dan Kritis, Pasar Adil, Transparan, dan Berkelanjutan
Lantas, ketika pengelola atau pelaku usahanya cenderung sulit dimintai
pertanggungjawaban, ke mana para "korban" itu harus mengadu? Adakah alternatif
hukum yang sederhana untuk mengatasi masalah tersebut?
Advokat Razi Mahfudzi, yang juga dikenal sebagai praktisi hukum
perlindungan konsumen, memaparkan hal tersebut kepada wartawan, Sabtu
(14/11/2020), di Kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
"Secara komprehensif, mengenai hal tersebut ada sebuah pengalaman, di
mana salah satunya adalah proyek apartemen di bilangan Jatibening, Bekasi.
Sudah hampir 2 tahun proyek pembangunan apartemen itu berhenti beroperasi.
Padahal, sudah banyak konsumen yang memesan unit di sana, bahkan sudah melunasi
pembelian apartemen tersebut. Lantas, bagaimana nasib para konsumen itu?" tutur
Razi.
Baca Juga:
Festival Harkonas 2024: Kemendag Edukasi Anak-Anak Jadi Konsumen Cerdas
Ia pun menjelaskan, bagaimana dengan pundi-pundi rupiah yang sudah
mereka keluarkan untuk membeli unit apartemen yang tentunya tidak berharga
murah itu.
Salah satu korban, lanjut Razi, sebut saja namanya Eva, memesan sebuah
unit seharga sekitar 420 juta, dan sudah melunasi pembayarannya kepada pihak
pengembang (developer).
Eva kecewa, karena dari tahun 2017 hingga saat ini unit apartemen yang dipesannya
itu tak kunjung diserahterimakan. Jangankan diserahterimakan, pembangunannya
saja baru sampai fondasi dan sudah berhenti.
"Bu Eva itu memang tidak tinggal diam. Berkali-kali dia berkorespondensi
dengan pihak developer. Tapi
jawabannya selalu sama, "Akan segera kita bangun." Upaya hukum telah ia
lakukan, bahkan hingga tingkat Mahkamah Agung. Tetapi, sampai hari ini, uang
pembelian apartemennya itu belum juga dikembalikan," kisah Razi.
"Jadi, menarik untuk dianalisa lebih mendalam, upaya hukum seperti apa
lagi yang bisa dilakukan oleh konsumen ketika menghadapi situasi seperti itu?
Negara sudah memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan adanya UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU ini mengatur secara komprehensif
soal perlindungan konsumen, termasuk lembaga yang khusus dibentuk untuk
menangani sengketa konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
yang lahir dari Pasal 49 UU tersebut," tandas Razi.
Ia menekankan, BPSK merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, yang waktu penyelesaiannya relatif cepat, yakni 21
hari kerja sejak diterimanya gugatan.
"Memang, waktunya itu terkadang lebih dari 21 hari. Namun, berdasarkan
pengalaman saya beracara di BPSK, putusannya itu tidak pernah lebih dari 2
bulan sejak diajukannya gugatan atau aduan. Berbeda dengan pengajuan gugatan di
Pengadilan Negeri, yang bisa memakan waktu 4-5 bulan untuk Pengadilan Tingkat
Pertama," kata Razi.
"Jadi, tentunya, ini merupakan angin segar bagi konsumen yang haknya
telah dizalimi oleh pelaku usaha. Proses beracara di BPSK juga tidak dipungut
biaya. Berbeda dengan di Pengadilan Negeri, yang diwajibkan membayar biaya
panjar perkara," tambahnya.
Advokat muda yang sering berkecimpung di bidang perlindungan konsumen
ini pun memberikan petunjuk kepada konsumen yang memilih menyelesaikan
sengketanya melalui BPSK.
"Konsumen yang dirugikan dapat menyurati pelaku usaha perihal
keluhannya. Jika pelaku usaha itu tidak menanggapi, konsumen dapat mendaftarkan
gugatannya ke BPSK. Lazimnya, BPSK ada di daerah tingkat II (Kabupaten/Kota),
sebagaimana pengalaman saya mewakili klien mengajukan gugatan konsumen di BPSK
Kota Bekasi. Tahap awalnya, konsumen membuat aduan atau gugatan ke Sekretariat
BPSK. Bentuk aduan atau gugatan itu mirip dengan gugatan ke pengadilan, dengan
mencantumkan posita dan petitum," papar Razi.
Selanjutnya, setelah diregister di Sekretariat BPSK, dalam tempo 14 hari
kerja pihak konsumen dan pelaku usaha akan mendapat panggilan untuk menghadap
ke BPSK. Di sana, kedua belah pihak diberikan pilihan forum penyelesaian
sengketanya, yakni mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Umumnya, mereka akan
menggunakan mediasi, karena tidak dipungut biaya dan mediatornya pun sudah
ditentukan.
"Setelah itu, konsumen dan pelaku usaha akan dimediasi terlebih dulu
sebelum masuk ke pokok perkara. Bila mediasi itu gagal, maka akan masuk ke
pokok perkara dengan proses jawab jinawab seperti di pengadilan, tetapi lebih
cepat. Putusan BPSK wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 7 hari sejak
diterimanya putusan tersebut. Bila ada pihak yang tidak puas dengan putusan
BPSK, maka sesuai Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ia dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri setempat, dengan
jangka waktu 14 hari sejak diterimanya putusan," tutur Razi.
"Jika dalam 14 hari itu tidak ada pihak yang mengajukan keberatan, maka
demi hukum putusan BPSK tadi dinyatakan telah inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap, dan dapat
dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri setempat. Proses pengajuannya sama
persis dengan pengajuan eksekusi putusan pengadilan, yaitu melalui Juru Sita di
Pengadilan Negeri," pungkas Razi. [qnt]