WahanaNews.co | Kerusuhan
yang melanda Afrika Selatan (Afsel) terus menelan korban jiwa. Kerusuhan tersebut,
setidaknya telah merenggut 212 nyawa. Angka ini naik tajam dari 117 kematian
yang diumumkan pada hari sebelumnya.
Baca Juga:
Presiden Jokowi Lakukan Kunker 4 Negara di Kawasan Afrika
Seperti diberitakan kantor berita AFP, Sabtu (17/7/2021),
Menteri Pemerintah Khumbudzo Ntshavheni mengatakan pada konferensi pers pada
Jumat (16/7) waktu setempat, sebagian besar kematian baru tersebut terjadi di
provinsi KwaZulu-Natal (KZN), yang menjadi pusat kekerasan.
Namun, dikatakannya situasinya "secara bertahap dan
pasti telah kembali normal."
Ntshavheni melaporkan bahwa 1.488 insiden tambahan
dilaporkan di KZN semalam, tetapi dia tidak memberikan rincian.
Baca Juga:
KPK Temukan Keberadaan Buronan e-KTP di Afrika Selatan, Tapi Tak Bisa Tangkap
Tidak ada insiden baru yang dilaporkan di provinsi Gauteng
yang mencakup ibu kota finansial Johannesburg, di mana 56 kasus kekerasan atau
penjarahan telah tercatat sejak dimulainya kerusuhan seminggu yang lalu.
Sebelumnya, Presiden Cyril Ramaphosa mengatakan bahwa
kerusuhan telah "direncanakan" dan pemerintah akan memburu mereka
yang bertanggung jawab. Ramaphosa mengatakan bahwa kerusuhan mematikan yang
melanda Afrika Selatan saat ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Dia pun mengerahkan pasukan militer untuk membantu polisi
menangani kekerasan dan penjarahan yang dipicu oleh pemenjaraan mantan Presiden
Jacob Zuma itu. Pasukan militer diturunkan ke jalan-jalan dari dua provinsi
paling padat di Afrika Selatan, yaitu Gauteng (provinsi dari pusat ekonomi negara,
Johannesburg) dan KwaZulu-Natal (provinsi kelahiran Zuma).
Seperti diberitakan DW, kerusuhan yang memanas di Afrika
Selatan terjadi saat Pengadilan Tinggi negara pada Senin (12/7) menggelar
sidang untuk mendengar permohonan pihak Zuma guna membatalkan hukuman penjara
15 bulan yang ia terima. Zuma telah mulai menjalani hukuman pada Kamis (8/7)
pekan lalu.
Zuma dijatuhi hukuman karena menentang perintah pengadilan
konstitusi untuk memberikan bukti atas penyelidikan korupsi tingkat tinggi yang
terjadi selama sembilan tahun kepemimpinannya, tepatnya hingga 2018.
Zuma menolak bekerja sama dalam penyelidikan kasus korupsi
yang menuduhnya mengizinkan tiga pengusaha kelahiran India (Atul, Ajay, dan
Rajesh gupta) menjarah sumber daya negara dan mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Zuma juga menghadapi kasus korupsi yang berkaitan dengan
kesepakatan senjata senilai $2 miliar (Rp28,9 triliun) pada tahun 1999 ketika
ia menjabat sebagai wakil presiden. [qnt]