WahanaNews.co | Perang 11 hari di Jalur Gaza, Palestina, sudah berlalu satu tahun.
Namun, ternyata, korban dari agresi Israel di tahun 2021 itu, terutama anak-anak, seolah masih terus diliputi kecemasan tak berujung, hingga hari ini.
Baca Juga:
Perkumpulan Tahanan Palestina: 61 Jurnalis Ditahan di Penjara Israel Sejak Agresi
Serangan udara dan penembakan Israel di Jalur Gaza antara 10 dan 21 Mei tahun lalu, menewaskan lebih dari 250 orang, termasuk 66 anak-anak, dan sekitar 2.000 warga Palestina, yang mengakibatkan kecacatan jangka panjang di banyak orang.
Dua korban pertempuran, pasien Medecins Sans Frontieres (MSF), mengatakan, mereka masih bergulat dengan luka mental dan fisik satu tahun kemudian.
“Saya terluka pada hari pertama pengeboman. Saya berada di rumah ketika rumah itu ditabrak. Kami tidak tahu apakah itu bom atau ada sesuatu di rumah yang meledak. Kami baru saja mendengar suara keras dan rumah bergetar. Saat itulah saya melihat tangan saya tergantung di lengan saya,” jelas warga Gaza dan ayah empat anak, Ahmed (41).
Baca Juga:
Usai Puluhan Tentara Ogah Balik Perang ke Gaza, Israel Kalang Kabut
Ahmad dikelilingi oleh keluarga ketika ini terjadi seperti selama Bulan Suci Ramadhan.
Akibat pengeboman itu, sebagian rumahnya hancur, dua sepupunya tewas dan satu kerabatnya cacat.
“Ledakan itu begitu kuat sehingga para tetangga juga terluka. Putra tetangga sedang berjalan di luar dan kehilangan kedua matanya," kata dia.
Dia dan empat korban lainnya berada di dalam mobil dalam perjalanan ke rumah sakit ketika satu anak meninggal.
Dia juga tidak tahu, apakah akan bernasib sama, meninggal sebelum sempat mendapatkan penanganan dari dokter.
“Kami semua tidak tahu apakah kami akan berhasil sampai di rumah sakit hidup-hidup, semuanya dibom di sekitar kami,” ujarnya.
Ahmad pertama kali dirawat di Rumah Sakit Al Shifa sebelum dipindahkan ke MSF di Rumah Sakit Al Awda.
Selama di rumah sakit, dia tidak pernah merasa aman.
Dia selalu takut, rumah sakit akan menjadi sasaran bom.
Dia menjalani delapan operasi dan tangannya harus diamputasi.
Tetapi bukan itu kekhawatiran besarnya.
Dia sangat mengkhawatirkan keluarganya, terutama anak-anaknya yang masih kecil, yang kerap ketakutan ketika mendengar suara keras.
"Kesehatan mental mereka sangat terpengaruh, dan suara keras masih membuat kedua anak saya yang lebih kecil menangis," ungkapnya.
Termasuk juga ibunya yang mengalami gangguan syaraf pasca serangan 11 hari.
Ibunya kini menjalani perawatan di spesialis kesehatan mental.
"Ibuku masih tidak bisa membicarakannya tanpa mengalami serangan panik,” kata Ahmad.
Satu hal yang paling menyakitkan baginya, dia juga harus kehilanga pekerjaanya.
Dia tidak lagi dapat bekerja sebagai pengemudi sejak tangannya harus diamputasi.
"Saya tidak dapat mengemudi tanpa tangan saya. Saya bertanggung jawab tidak hanya untuk istri dan anak-anak saya tetapi juga untuk orang tua saya yang sudah lanjut usia," kata dia.
“Terkadang saya bertanya pada diri sendiri mengapa saya bertahan. Terkadang saya berharap saya mati bersama yang lain, jadi saya akhirnya bisa meninggalkan Gaza. Kematian adalah satu-satunya jalan keluar," ujarnya.
Korban lain, Mohammad (36), kehilangan putranya karena pengeboman pada hari pertama perang 11 hari antara Palestina dan Israel.
“Saya sedang berada di luar rumah bersama putra saya, ketika sebuah rudal menghantam mobil yang berjarak kurang dari satu meter dari kami. Saya tidak ingat persis urutannya, tetapi kemudian saya melihat kaki saya benar-benar terluka," kata Mohammed.
“Ketika saya melihat ke samping, anak saya tidak bangun. Perutnya terbuka, dan kedua tangannya hilang. Aku mulai berteriak. Istri saya dan dua anak perempuan saya ada di rumah dan berlari. Mereka juga berteriak. Ada begitu banyak orang terluka di sekitar kami dan tidak ada ambulans yang terlihat,” jelasnya. [gun]