WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dunia pertahanan internasional dikejutkan oleh penolakan India terhadap tim audit Dassault Aviation yang hendak memeriksa pesawat tempur Rafale milik Angkatan Udara India (IAF).
Keputusan kontroversial ini muncul setelah Pakistan mengklaim berhasil menembak jatuh enam jet tempur India, termasuk tiga unit Rafale yang dibeli dengan harga selangit.
Baca Juga:
Akhirnya! Jenderal India Terbuka soal Kekalahan Awal di Konflik dengan Pakistan
Tumbangkan Enam Jet India
Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif pada 17 Mei lalu mengumumkan kemenangan spektakuler Angkatan Udara Pakistan (PAF) dalam pertempuran udara terbesar dalam dua dekad terakhir.
"Angkatan udara kami berhasil menembak jatuh enam pesawat tempur India dalam operasi yang menunjukkan superioritas teknologi dan keahlian pilot Pakistan," tegas Shehbaz dalam konferensi pers yang disiarkan langsung.
Baca Juga:
India Usulkan Kemitraan Baru dengan Indonesia untuk Tingkatkan Perdagangan
Pakistan mengklaim lima pesawat pertama yang jatuh adalah tiga jet Rafale, satu Su-30MKI, dan satu MiG-29.
Semuanya ditembak menggunakan rudal jarak jauh PL-15E buatan China yang diluncurkan dari pesawat J-10C milik PAF.
Pesawat keenam, sebuah Mirage 2000, ditembak jatuh dalam operasi malam di Pampore, timur Srinagar, antara 6-7 Mei.
Menteri Luar Pakistan Ishaq Dar bahkan lebih blak-blakan: "Pesawat Rafale yang dibanggakan India itu gagal total. Pilot-pilot Angkatan Udara India terbukti tidak kompeten menghadapi teknologi superior kami."
Siapa yang Unggul?
Analisis intelijen menunjukkan pesawat-pesawat India menjadi sasaran jet J-10C dan JF-17 Block III Pakistan yang dipersenjatai rudal Beyond Visual Range (BVR) PL-15 buatan China Airborne Missile Academy.
Yang mengejutkan, beberapa pesawat India diserang dari jarak hingga 182 kilometer, hampir mencapai batas maksimal kemampuan PL-15 yang memiliki jangkauan 200-300 kilometer.
Ini berarti Pakistan melancarkan serangan dari wilayah udaranya sendiri tanpa perlu melintasi perbatasan.
"Ini adalah demonstrasi dominasi udara tanpa invasi wilayah. Taktik yang sangat cerdas," ujar seorang pengamat militer internasional.
Pertempuran melibatkan lebih dari 125 pesawat dari kedua negara, menjadikannya "pertempuran udara terbesar abad ke-21" menurut pemerhati internasional.
India Sembunyikan Masalah Internal?
Sumber intelijen mengungkap Dassault Aviation telah mengirim tim khusus untuk menyelidiki kemungkinan kelemahan sistemik pada Rafale.
Namun pemerintah India memblokir akses tim tersebut ke skuadron Rafale IAF.
Keputusan ini memicu spekulasi bahwa New Delhi berusaha menyembunyikan masalah internal yang lebih besar, mulai dari kesiapan operasional, pemeliharaan, hingga kompetensi pilot.
Laporan Ketua Audit Negara India yang dirilis sebelum konflik mengonfirmasi dugaan ini. IAF kekurangan 596 pilot, meningkat dari 486 pada 2015.
Upaya melatih 222 pilot baru dari 2016-2021 juga gagal, memperburuk krisis sumber daya manusia.
Lebih parah lagi, India hanya memiliki 31 skuadron pesawat tempur aktif, jauh di bawah minimum 42 skuadron yang ditetapkan doktrin pertahanan nasional.
Ketergantungan yang Mematikan
Krisis ini mengungkap masalah fundamental dalam kemitraan India-Prancis.
India telah lama mengeluhkan keengganan Dassault memberikan akses penuh terhadap source code sistem avionik Rafale, isu yang membelit sejak kontrak senilai US$8,7 miliar diteken pada 2016.
"Tanpa source code, kami tidak bisa mengupdate software, mengintegrasikan senjata lokal, atau melakukan maintenance mendalam. Ini membatasi kedaulatan operasional kami," keluh seorang insinyur IAF.
Bagi India, ini adalah petanda bahwa produsen senjata Barat lebih mementingkan perlindungan kekayaan intelektual daripada menjamin kemampuan tempur jangka panjang pelanggan.
China Mengejek, Dunia Tercengang
China tidak menyia-nyiakan momentum ini. Setelah India mengklaim berhasil menemukan rudal PL-15 utuh yang gagal meledak, diplomat "wolf warrior" China mengejek India di media sosial.
"India membayar US$288 juta per Rafale, tapi tidak punya akses source code," cuit seorang pejabat China di platform X.
"Mereka klaim bisa 'ekstrak software' dari serpihan PL-15, padahal sistem inti jet Rafale mereka sendiri tidak bisa diakses."
Sindiran itu mungkin provokatif, tapi menyoroti realitas baru: sistem senjata China seperti PL-15 kini tidak hanya kompetitif, bahkan mampu mengalahkan sistem Barat di medan tempur nyata.
PL-15 yang digunakan dalam penembakan Rafale dilengkapi radar AESA dan mampu mencapai kecepatan Mach 4, menjadikannya salah satu rudal udara-ke-udara paling mematikan di dunia saat ini.
Guncangan Strategis Regional
Bagi India, kemungkinan Rafale yang dibeli mahal dari Barat dikalahkan sistem buatan China-Pakistan bukan hanya memalukan—ini mengguncang doktrin keamanan regional.
Selama puluhan tahun, strategi akuisisi India bertumpu pada keyakinan bahwa sistem Barat memberikan keunggulan mutlak atas musuh yang menggunakan peralatan China atau Rusia. Keyakinan itu kini diuji realitas paling pahit.
Meski klaim kehilangan Rafale belum dikonfirmasi resmi, penolakan India membiarkan audit Dassault menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan tingkat kepercayaan antara pembeli dan produsen.
Implikasi Politik dan Strategis
Partai oposisi India kembali mengangkat tuduhan lama tentang korupsi dalam akuisisi Rafale dan menuntut audit menyeluruh terhadap performa pesawat di medan tempur.
Kementerian Pertahanan India kini dipaksa mengevaluasi ulang apakah strategi masa depan harus bergantung pada produksi domestik dan transfer teknologi, bukannya terus membeli platform asing yang enggan memberikan kontrol penuh.
Di tingkat internasional, dampaknya jauh lebih besar:
• Bagi Pakistan: Keberhasilan tempur J-10C dengan PL-15 menandai pencapaian strategis dalam upaya menyeimbangkan kekuatan udara regional.
• Bagi China: Sukses PL-15 adalah validasi kuat model ekspor persenjataan mereka, terintegrasi, terbukti, dan kini semakin dipercaya negara berkembang.
• Bagi produsen Barat: Kerusakan reputasi nyata dan sulit dipulihkan. Rafale yang sebelumnya dianggap platform multirole paling unggul kini menghadapi pertanyaan bukan hanya dari musuh, tapi juga pelanggan sendiri.
Refleksi Pahit
Apa pun penyebabnya, kurang latihan, masalah maintenance, atau kelemahan taktis, hasilnya jelas: India gagal meraih dominasi udara dalam perang yang dikira bisa dimenangkan dengan teknologi.
Kini New Delhi menghadapi pertanyaan mendalam: apakah mereka dikalahkan sistem buatan China, atau oleh rasa percaya diri berlebihan dan ketergantungan pada teknologi asing?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan strategi pertahanan India, dan mungkin mengubah lanskap geopolitik Asia Selatan selamanya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]