WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amerika Serikat dituding sebagai sponsor utama dalam penyediaan senjata dan amunisi perang bagi Israel selama operasi militer di Gaza.
Kementerian Pertahanan Israel mengungkapkan bahwa sejak awal konflik di Gaza pada Oktober 2023, negara itu telah menerima 940 pengiriman senjata dari AS.
Baca Juga:
Gaza Berdarah Lagi: Israel Dituding Umpan Warga Lapar ke Ladang Pembantaian
Dukungan tersebut mencakup lebih dari 90.000 ton perlengkapan militer, mulai dari amunisi, kendaraan lapis baja, peralatan pelindung, hingga pasokan medis, dengan nilai mencapai Rp480 triliun.
Pengiriman dilakukan melalui jalur udara dan laut, untuk memastikan kelangsungan operasi militer Israel yang kini telah berlangsung selama lebih dari 600 hari.
Selain itu, dalam 19 bulan terakhir, pemerintah AS juga menyetujui penjualan rudal dan bom senilai Rp118 triliun serta bantuan darurat tambahan senilai Rp48 triliun.
Baca Juga:
Netanyahu Klaim Pemimpin Hamas Mohammed Sinwar Tewas
Laporan Costs of War Project dari Universitas Brown mencatat bahwa AS telah menghabiskan sekitar Rp364 triliun antara Oktober 2023 hingga akhir September 2024 untuk mendukung operasi Israel dan memperluas pengaruhnya di kawasan.
"Donald Trump adalah sahabat terbaik Israel di Gedung Putih. Dia menunjukkannya dengan mengirimkan semua amunisi yang sebelumnya ditahan. Dengan cara ini, dia memberi Israel peralatan yang kita butuhkan untuk menyelesaikan tugas melawan poros teror Iran," ujar pernyataan dari Departemen Luar Negeri AS, dikutip oleh Middle East Monitor.
Amerika tercatat sebagai pemasok senjata terbesar bagi Israel, menyuplai sekitar dua pertiga dari seluruh impor senjata Israel pada periode 2020–2024.
Sejak 1946, nilai total bantuan militer AS kepada Israel telah mencapai sekitar 228 miliar dolar, menjadikan Israel sebagai penerima bantuan militer terbesar sepanjang sejarah AS, menurut data dari Council on Foreign Relations (CFR).
Melalui program Foreign Military Financing (FMF), AS menggelontorkan dana bantuan tahunan sebesar 3,3 miliar dolar AS untuk Israel, berdasarkan nota kesepahaman yang berlaku dari 2019 hingga 2028.
Selain itu, AS juga menyetujui penjualan berbagai sistem senjata canggih, termasuk jet tempur F-35, helikopter CH-53K, dan sistem pertahanan Iron Dome.
Total bantuan militer tahunan mencapai 3,8 miliar dolar, atau sekitar Rp60,27 triliun. Jika dihitung sejak 1946 hingga 2023, bantuan tersebut mencapai 124 miliar dolar AS.
Jumlah ini bahkan lebih besar dari total bantuan luar negeri AS kepada Mesir, yang selama 77 tahun terakhir hanya menerima 151,9 miliar dolar AS, menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Hubungan erat antara AS dan Israel dinilai sebagai bagian dari strategi geopolitik Washington di Timur Tengah.
AS memandang Israel sebagai mitra utama untuk menjaga kepentingan energi dan keamanan regional, sekaligus sebagai penyeimbang pengaruh Soviet (dahulu) dan Iran (kini).
Dikutip dari Al Jazeera, survei Gallup tahun 2022 menunjukkan bahwa 58 persen warga AS bersimpati terhadap Israel.
Sebanyak 75 persen menilai Israel sebagai negara yang positif, menjadikannya topik sensitif dalam politik dalam negeri AS.
Dukungan dari Partai Demokrat, Partai Republik, serta mayoritas anggota Kongres memperkuat kebijakan pro-Israel di Washington.
Namun, dukungan masif ini menuai kritik global. Sejumlah organisasi internasional, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch (HRW), menentang pengiriman senjata dari AS ke Israel.
Amnesty menyebut bantuan tersebut berpotensi digunakan dalam pelanggaran HAM dan kejahatan perang.
HRW bahkan menyerukan penghentian pengiriman senjata hingga ada jaminan bahwa senjata itu tidak digunakan terhadap warga sipil.
Di tengah kecaman tersebut, komunitas internasional terus menuntut agar AS meninjau ulang kebijakannya demi mencegah jatuhnya lebih banyak korban sipil di Gaza.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]