WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amnesti Internasional mendesak parlemen Prancis untuk menolak rancangan undang-undang (RUU) yang berupaya melarang jilbab dan simbol keagamaan lainnya dalam kompetisi olahraga.
RUU ini mengusulkan pelarangan penggunaan pakaian dan simbol yang mencerminkan afiliasi keagamaan di seluruh cabang olahraga di Prancis dan dijadwalkan untuk dibahas di Senat pekan ini.
Baca Juga:
Pangkalan Militer Asing: AS Pimpin dengan 750, Inggris Ikuti dengan 145 di Seluruh Dunia
Menurut Amnesti Internasional, meskipun Konstitusi Prancis menjunjung prinsip sekularisme yang seharusnya melindungi kebebasan beragama, kenyataannya prinsip ini sering dijadikan dasar untuk membatasi akses perempuan Muslim ke ruang publik.
Organisasi hak asasi manusia tersebut juga menyoroti bahwa pemerintah Prancis memiliki sejarah panjang dalam menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap pakaian perempuan Muslim.
Selain itu, beberapa federasi olahraga di Prancis telah lebih dulu melarang penggunaan jilbab di berbagai cabang olahraga.
Baca Juga:
Rangka Dinosaurus 150 Juta Tahun Dilelang, Laku Terjual Rp100 Miliar
Amnesti Internasional memperingatkan bahwa jika RUU ini disahkan, kebijakan tersebut dapat memperburuk diskriminasi dan memperkuat sentimen anti-Muslim di Prancis.
Dalam laporan yang dirilis menjelang Olimpiade Paris 2024, Amnesti menegaskan bahwa pelarangan jilbab dalam olahraga dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan fisik perempuan Muslim.
Peneliti Amnesti Internasional, Anna Blus, mengungkapkan bahwa larangan jilbab bagi atlet Prancis dalam Olimpiade Paris telah menuai kritik global.
Ia menambahkan bahwa meskipun enam bulan telah berlalu sejak kontroversi tersebut mencuat, pemerintah Prancis tidak hanya mempertahankan kebijakan diskriminatif ini, tetapi juga berupaya memperluasnya ke semua cabang olahraga.
Blus menegaskan bahwa meskipun kebijakan ini diklaim untuk melindungi sekularisme, pada praktiknya, aturan tersebut secara langsung menargetkan perempuan Muslim.
"Jika perempuan Muslim mengenakan jilbab atau pakaian keagamaan lainnya, mereka akan dilarang bertanding dalam seluruh kompetisi olahraga," katanya.
Ia juga memperingatkan bahwa menganggap jilbab sebagai ancaman bagi sekularisme merupakan tindakan yang berbahaya.
Diskriminasi Berbasis Agama
Menurutnya, RUU ini hanya akan memperparah diskriminasi dan rasisme terhadap perempuan Muslim di Prancis.
"Setiap perempuan berhak menentukan pakaian mereka sendiri," tegasnya, seraya menyebut pelarangan jilbab dalam olahraga sebagai bentuk Islamofobia.
Sosiolog dan pendiri komunitas Basketball for All, Haifa Tlili, juga mengkritik larangan ini.
Ia menekankan bahwa tidak ada alasan objektif yang dapat membenarkan pelarangan jilbab bagi atlet Muslim.
"Oleh karena itu, klaim bahwa aturan ini adalah suatu keharusan tidaklah benar. Tidak ada dasar yang sah untuk mendukungnya," ujar Tlili.
Senada dengan itu, Helene Ba, pendiri komunitas yang sama sekaligus pemain basket profesional, memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak buruk bagi perempuan Muslim.
Ia menyebutkan berbagai dampak negatif seperti penghinaan, stigma sosial, trauma, mundurnya perempuan dari olahraga, hilangnya komunitas dan dukungan sosial, berkurangnya kepercayaan diri, serta ancaman terhadap kelangsungan klub-klub olahraga.
Saat ini, Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) melarang penggunaan jilbab dalam pertandingan, sementara Federasi Bola Tangan Prancis mengizinkannya.
RUU yang pertama kali diajukan oleh Senator Michel Savin tahun lalu ini bertujuan untuk memperluas larangan simbol keagamaan, termasuk jilbab, di semua kompetisi olahraga di Prancis.
Selain pelarangan jilbab, RUU tersebut juga mengusulkan larangan doa bersama di fasilitas olahraga yang menerima pendanaan negara.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]