WahanaNews.co, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengakui bahwa Israel telah menewaskan terlalu banyak warga sipil dalam konfliknya melawan Hamas di Gaza, Palestina.
Pengakuan ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Amerika, Antony Blinken, dalam sebuah konferensi pers di Tel Aviv. Ini merupakan kritik yang jarang terjadi dari Washington terhadap sekutu utamanya.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Usulkan Two-State Solution untuk Akhiri Konflik Gaza dalam Pertemuan dengan AS
Pernyataan kritik muncul pada saat jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan penurunan dukungan tradisional Arab-Amerika terhadap calon presiden dari Partai Demokrat, karena negara tersebut memasuki musim pemilihan dan pemilu.
Donald Trump, kandidat terkemuka dari Partai Republik, secara konsisten memimpin dalam jajak pendapat dibandingkan dengan Presiden Joe Biden.
“Orang Israel mengalami dehumanisasi dengan cara yang paling mengerikan pada 7 Oktober,” kata Blinken.
Baca Juga:
Gagal Menyentuh Pemilih, Harris Kalah Telak Meski Kampanye Penuh Serangan ke Trump
"Tetapi hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak memanusiakan orang lain.”
“Mayoritas penduduk Gaza tidak ada hubungannya dengan serangan tersebut,” lanjut diplomat Amerika tersebut, seperti dikutip dari Times of Israel, Jumat (9/2/2024).
“Keluarga-keluarga di Gaza yang kelangsungan hidupnya bergantung pada pengiriman bantuan dari Israel sama seperti keluarga kami. Mereka adalah ibu dan ayah, putra dan putri, yang ingin mendapatkan penghidupan yang layak, menyekolahkan anak, dan memiliki kehidupan normal. Dan kita tidak bisa, kita tidak boleh melupakan hal itu," papar Blinken.
Blinken menegaskan bahwa AS terus mendesak Israel untuk meningkatkan perlindungan terhadap warga sipil. Ia menyatakan, "Jumlah kematian harian akibat operasi militer Israel terhadap warga sipil yang tak bersalah masih terlalu tinggi."
Israel merespons serangan Hamas pada 7 Oktober dengan menyatakan perang terhadap kelompok perlawanan Palestina tersebut dan memberlakukan pengepungan total terhadap Gaza.
Dalam empat bulan pertempuran, pasukan Israel melaporkan menewaskan hampir 28.000 orang, terutama perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Data terbaru dari badan PBB untuk pengungsi Palestina menunjukkan bahwa lebih dari seperempat penduduk Gaza mengalami kelaparan.
Walaupun AS awalnya memberikan dukungan militer kepada Israel dan menjanjikan dukungan terhadap perang yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, meningkatnya jumlah korban sipil dan penolakan Israel terhadap solusi dua negara telah memperburuk hubungan dengan Presiden AS Joe Biden dan pemerintahan Netanyahu.
Bagi pemerintahan Washington, pendirian Negara Palestina yang merdeka dianggap sangat penting, bukan hanya untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun, tetapi juga untuk memastikan bahwa Arab Saudi mengakui Israel.
Pertengahan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel menjadi tujuan utama kebijakan luar negeri pemerintahan Biden.
Langkah ini diharapkan dapat membangun hubungan diplomatik antara kedua rival regional utama, Iran dan Arab Saudi, dengan potensi Arab Saudi untuk menandatangani pakta pertahanan dengan AS.
Meskipun Netanyahu menolak solusi dua negara dan menegaskan kendali keamanan penuh Israel atas seluruh wilayah di barat Yordania, Antony Blinken menyatakan bahwa Washington berharap agar Israel menetapkan komitmen konkret, dengan jangka waktu dan jalur yang tidak dapat diubah menuju pendirian Negara Palestina.
Dalam konferensi pers yang diadakan sebelum pernyataan Blinken, Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang lebih agresif, menolak rencana gencatan senjata dari Hamas dan menyatakan, "Tidak ada solusi lain selain kemenangan mutlak atas Hamas."
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]