WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amerika Serikat dikabarkan memperingatkan Inggris dan Prancis agar tidak mengakui negara Palestina dalam konferensi PBB yang akan digelar akhir Juni di New York.
Konferensi ini akan dipimpin bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, dengan fokus pada solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina.
Baca Juga:
Presiden Macron Kagumi Candi Borobudur: Lambang Keunggulan Manusia dan Inspirasi Dunia
Menurut laporan Middle East Eye, Prancis dikabarkan tengah bersiap mengambil langkah pengakuan secara sepihak terhadap negara Palestina dalam forum internasional tersebut.
Bahkan, Paris telah mendorong London untuk mengikuti jejak yang sama. Pejabat Prancis yakin bahwa Inggris menyambut positif gagasan tersebut.
Namun di balik layar, Amerika Serikat secara diam-diam memperingatkan kedua negara Eropa itu agar menahan diri.
Baca Juga:
Prabowo Antar Langsung Keberangkatan Presiden Macron ke Singapura
“Pada saat yang sama, negara-negara Arab justru mendesak agar mereka melanjutkan langkah pengakuan,” ungkap seorang sumber di Kantor Luar Negeri Inggris.
Kelompok Arab sebelumnya telah menegaskan bahwa mereka akan menilai keberhasilan konferensi dari sejauh mana negara-negara kunci mau mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Ketika dimintai komentar, Kantor Luar Negeri Inggris merujuk pada pernyataan Menlu David Lammy pada 20 Mei lalu.
Saat itu, Lammy kembali menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara, namun menolak pengakuan sepihak.
"Inggris hanya akan mengakui negara Palestina ketika kita tahu itu akan terjadi dan sudah di depan mata," tegasnya.
Meski demikian, pada akhir April Lammy mengakui bahwa pemerintah Inggris tengah berdiskusi dengan Prancis dan Arab Saudi mengenai opsi pengakuan tersebut.
Chris Doyle, direktur Council for Arab-British Understanding, menyatakan dengan lantang, “Tidak ada alasan yang sah bagi AS untuk ikut campur dalam keputusan kedaulatan Inggris dan Prancis untuk mengakui negara lain.”
Ia menambahkan, “Pengakuan Prancis dan Inggris akan menjadi bentuk pengakuan terhadap hak rakyat Palestina untuk memiliki negara dan duduk sejajar dalam negosiasi dengan Israel.”
Menurut Doyle, tekanan dari AS kemungkinan akan lebih memengaruhi Inggris daripada Prancis, apalagi jika kebijakan ini dipertimbangkan di tengah ketidakpastian arah pemerintahan Presiden Trump.
“Jika saya berada di Downing Street, saya akan bertanya apa sebenarnya yang dipikirkan presiden, dan bagaimana dia akan bereaksi.”
Jika keputusan ini jadi diambil, maka Prancis dan Inggris akan menjadi negara G7 pertama yang mengakui Palestina secara resmi.
Langkah itu akan menciptakan guncangan politik besar, karena kedua negara selama ini dikenal sebagai sekutu tradisional utama Israel.
Isyarat penolakan keras pun telah datang dari Tel Aviv. Menteri Urusan Strategis Israel, Ron Dermer, bahkan mengancam akan mencaplok wilayah di Tepi Barat jika pengakuan terhadap Palestina itu benar-benar terjadi.
Sementara itu, tekanan politik domestik terus meningkat di Inggris. Chris Doyle mengatakan, “Starmer menghadapi kemarahan besar dari dalam Partai Buruh dan masyarakat Inggris, bahkan dari mereka yang biasanya mendukung Israel.”
Beberapa anggota parlemen menyatakan bahwa pengakuan terhadap Palestina tidak bisa lagi ditunda. Uma Kumaran, anggota Komite Urusan Luar Negeri dari Partai Buruh, menyampaikan, “Pemerintah ini terpilih berdasarkan janji dalam manifesto yang menyebutkan akan mengakui Palestina sebagai bagian dari jalan menuju perdamaian yang adil dan langgeng. Saya sepenuhnya mendukung pengakuan itu, dan telah menyuarakannya berulang kali di parlemen.”
Langkah yang direncanakan Prancis dan Inggris, bila terwujud, berpotensi membuka babak baru dalam geopolitik Timur Tengah, dan menjadi penanda penting dalam perjuangan rakyat Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]