WAHANANEWS.CO, Jakarta - Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza terus mengalami eskalasi serius, seiring dengan berlanjutnya blokade ketat oleh Israel yang kini telah memasuki bulan ketiga.
Blokade ini secara drastis menghambat masuknya kebutuhan pokok seperti makanan, air bersih, dan pasokan penting lainnya ke wilayah pesisir yang dihuni oleh lebih dari dua juta penduduk Palestina.
Baca Juga:
Houthi Akui Secara Terbuka Targetkan Kapal Induk AS USS Harry S. Truman di Laut Merah
Di berbagai penjuru Gaza, pemandangan antrean panjang di luar dapur umum dan pusat distribusi bantuan makanan telah menjadi hal yang lumrah.
Di Khan Younis, yang terletak di bagian selatan Gaza, ratusan warga rela mengantre selama berjam-jam hanya demi mendapatkan satu porsi makanan.
"Keadaannya sangat sulit. Kami kekurangan makanan dan air bersih," ujar Umm Rami, seorang ibu yang mengasuh empat anak, saat menunggu giliran di depan salah satu titik distribusi makanan.
Baca Juga:
Prabowo Bahas Evaluasi Direksi BUMN dan Isu Kemanusiaan Palestina di Istana Merdeka
Dapur-dapur amal yang menjadi tumpuan hidup bagi para pengungsi kini berada di ambang kehabisan logistik dan kesulitan untuk tetap beroperasi.
Persediaan yang tersedia sebagian besar berasal dari bantuan kemanusiaan maupun sumbangan lokal yang jumlahnya terus menurun akibat penutupan perbatasan secara berkepanjangan.
“Jika penutupan perbatasan terus berlanjut, kami mungkin harus menghentikan layanan dalam hitungan hari,” kata Abdullah Skaik, pengelola dapur umum di daerah al-Amal, Khan Younis, kepada kantor berita Xinhua.
"Dulu, kami bisa memperoleh beras, lentil, dan tepung dalam jumlah cukup untuk melayani kebutuhan masyarakat. Sekarang, kami hanya bertahan dengan sisa stok yang hampir habis."
Sejak 2 Maret, Israel sepenuhnya menutup akses barang dan pasokan ke Gaza, menyusul berakhirnya kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang sempat diberlakukan sejak Januari.
Namun, rencana untuk melanjutkan gencatan senjata tahap kedua gagal dilaksanakan karena tidak tercapainya kesepakatan antara Israel dan Hamas.
Skaik juga menyinggung beban psikologis yang dialami para sukarelawan maupun keluarga-keluarga pengungsi yang mereka bantu.
“Kami menyaksikan penyebaran malanutrisi di depan mata kami. Jika tidak ada perubahan kebijakan, yang terjadi bukan sekadar kekurangan pangan, tapi bencana kelaparan besar,” tegasnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan keras mengenai potensi bencana kemanusiaan besar di Gaza. Laporan PBB menunjukkan bahwa tanda-tanda kelaparan parah kian nyata, khususnya di kalangan anak-anak yang paling rentan.
Meski berbagai lembaga bantuan lokal maupun internasional terus berupaya mengirimkan bantuan, para pekerja kemanusiaan menyatakan bahwa jumlah pasokan dan kapasitas distribusi saat ini sangat jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.
Sementara itu, Hamas menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang secara sistematis, dan menyatakan bahwa lebih dari satu juta anak di Gaza mengalami kelaparan setiap hari.
Pemerintah Palestina melalui Kepresidenan pun mengecam keras blokade serta operasi militer yang masih berlangsung.
Dalam pernyataannya yang disampaikan lewat kantor berita resmi Palestina, WAFA, mereka menyerukan intervensi segera dari komunitas internasional guna menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang mereka sebut sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya" terhadap rakyat Palestina.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]