WahanaNews.co | Media pemerintah Iran membantah klaim Jaksa Agung Jafar Montazeri yang menyebutkan bahwa kepolisian moral negara itu dibubarkan di tengah menggilanya gelombang protes warga.
Sebagaimana dilansir CNN, media pemerintah Iran membantah klaim tersebut melalui pemberitaan pada Minggu (4/12).
Baca Juga:
Balas Israel, Iran Disebut Bakal Tingkatkan Kekuatan Hulu Ledak
Mereka menegaskan bahwa kepolisian moral berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri Iran, bukan jaksa agung.
CNN sudah menghubungi Kementerian Dalam Negeri Iran untuk konfirmasi lebih lanjut. Namun, belum ada tanggapan.
Media pemerintah Iran melansir berita ini untuk merespons Montazeri yang menyatakan bahwa polisi moral dibubarkan karena tak berhubungan dengan proses peradilan di negara itu.
"Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah dihapuskan," ucap Montazeri, seperti dikutip kantor berita ISNA.
Baca Juga:
Elon Musk Beberkan Alasan Tangguhkan Akun X Pemimpin Tertinggi Iran
Polisi moralitas sendiri merupakan bagian dari Pasukan Penegakan Hukum Iran (LEF). Mereka bertugas menegakkan aturan terkait ketidaksopanan dan kejahatan sosial.
Mereka memegang akses ke pihak-pihak berkuasa, senjata, dan pusat penahanan. Polisi moral ini juga memiliki kendali atas "pusat pendidikan ulang" yang baru-baru ini didirikan.
Pusat pendidikan itu semacam fasilitas penahanan bagi warga yang dianggap tak mematuhi aturan soal kesopanan. Di dalam fasilitas itu, para tahanan dicekoki kelas tentang Islam, termasuk betapa penting jilbab.
Pihak berwenang kemudian akan memaksa para tahanan menandatangani janji untuk mematuhi peraturan pakaian sebelum bebas.
Polisi moral Iran menjadi sorotan luas setelah kematian seorang perempuan berusia 22 tahun, Mahsa Amini, ketika berada di tahanan pada September lalu.
Amini ditangkap polisi moral karena diduga memakai penutup kepala yang tak sesuai dengan aturan ketat di Iran.
Kematian Amini memicu gelombang protes besar-besaran di Iran. Tak hanya memprotes kematian Amini, para pengunjuk rasa juga menyuarakan penolakan atas aturan-aturan yang mengekang perempuan.
Para demonstran juga mempertanyakan akuntabilitas dan impunitas yang dinikmati elite ulama di negara tersebut.
Seruan mereka meluas hingga menuntut keadilan, transparansi, hingga isu-isu kebebasan berekspresi. [rna]