WahanaNews.co | Amerika Serikat (AS) hengkang, China datang.
Itulah yang dialami Afghanistan.
Baca Juga:
Bio Farma Hibahkan 10 Juta Dosis Vaksin Polio untuk Afghanistan
Negara yang berbatasan langsung dengan
Pakistan, Iran, Turkeminstan, dan Tajikistan tersebut kini di bawah kekuasaan
Taliban.
Dalam menghadapi Taliban, China yang
semakin kuat, baik ekonomi maupun militer, mencoba menunjukkan kepada dunia
bahwa mereka "hampir menang" dengan
tidak berperang di Afghanistan, tidak seperti Rusia (dahulu Uni Soviet) dan AS.
Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban
secara otomatis mengalihkan penguasaan atas kekayaan mineral tambang di negara
itu.
Baca Juga:
Afghanistan Kembali Gempa Bumi Berkekuatan 6,3 Magnitudo
Potensi ekonominya bahkan mencapai US$ 1 triliun
atau lebih dari Rp 14 ribu triliun.
Afghanistan dikenal sebagai negara
yang terkurung daratan atau landlock.
Wilayahnya didominasi pegunungan dan
gersang.
Namun, di balik itu, Afghanistan
ternyata menyimpan kekayaan alam yang luar biasa.
Mengutip situs Deutsche Welle, Rabu (25/8/2021), Taliban selama ini dikenal mendapatkan sumber dana dari
penjualan opium dan heroin.
Dengan menjadi penguasa baru di
Afghanistan, otomatis kelompok gerilyawan tersebut menjadi penguasa baru atas
kekayaan tambang mineral.
Pada 2010, sebuah laporan dari pakar
militer dan ahli geologi AS menyebutkan bahwa Afghanistan, salah satu negara
termiskin di dunia, memiliki kekayaan mineral antara lain bijih besi, tembaga,
lithium, kobalt, dan logam langka lain, yang nilainya
lebih dari Rp 14 ribu triliun.
"China sudah dalam posisi
(menguntungkan) di Afghanistan untuk menambang mineral-mineral ini di bawah
kontrol Taliban. Jika Taliban dapat menyediakan kondisi operasi yang stabil
bagi China, maka operasi penambangan berpotensi menghasilkan pendapatan puluhan
miliar dolar AS," ungkap peneliti Middle East Institute (MEI), Michael Tanchum.
Dalam beberapa dekade, sebagian besar
sumber daya alam tersebut tidak tersentuh alias tidak sempat dieksploitasi
karena rentetan konflik yang mencabik-cabik negara tersebut.
Sementara itu, harga dari banyak
komoditas mineral tersebut telah meroket, dipicu oleh transisi global dari
energi fosil ke energi hijau.
Banyak kebutuhan logam mineral seperti
lithium untuk bahan baku memproduksi berbagai produk teknologi non-fosil
seperti mobil listrik (electric vehicle/EV)
dan ponsel pintar (smartphone) yang
permintaannya semakin meningkat.
Lithium, bahan baku utama baterai
untuk mobil listrik, smartphone dan
laptop, menghadapi permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan
pertumbuhan tahunan sebesar 20 persen dibandingkan dengan beberapa tahun yang
lalu yang berkisar 5-6 persen.
Dalam sebuah memo dari Departemen
Pertahanan AS (Pentagon) menyebutkan bahwa deposit lithium di Afghanistan bisa
menyamai Bolivia yang selama ini dinobatkan sebagai produsen lithium terbesar
dunia.
Menurut National Geographic, lithium menjadi pilihan utama bahan baku
pembuatan baterai isi ulang karena mampu menyimpan lebih banyak energi per
beratnya daripada bahan baterai lainnya.
Para produsen baterai di dunia
menggunakan lebih dari 160 ribu ton lithium setiap tahunnya.
Jumlah ini diperkirakan akan tumbuh
hampir 10 kali lipat selama dekade berikutnya.
Namun persediaan lithium terbatas dan
hanya terkonsentrasi di beberapa negara, di mana logam tersebut ditambang atau
diekstraksi dari air laut.
Kelangkaan lithium telah menimbulkan
kekhawatiran bahwa kekurangan di masa depan dapat menyebabkan harga baterai
meroket dan menghambat pertumbuhan kendaraan listrik dan teknologi lain seperti
smartphone, laptop, dan panel surya
yang bergantung pada lithium seperti Tesla
Powerwalls, baterai stasioner yang sering digunakan untuk menyimpan tenaga
surya di atap.
Permintaan logam mineral untuk mobil
listrik yang tinggi didorong oleh lonjakan permintaan pada tahun ini, terutama
China yang pangsa pasar mobil listriknya mencapai 15 persen dan Uni Eropa
sebesar 19 persen --keduanya pada Juni 2021.
Badan Energi Internasional (IEA)
memperkirakan, permintaan logam mineral untuk energi
bersih periode 2020-2040 semakin tinggi.
Permintaan lithium, misalnya, meningkat secara mengejutkan, yakni 13-42 kali.
Disusul grafit (8-25 kali), kobalt (6-21 kali), nikel (7-19 kali), mangan (3-8 kali), tanah jarang (3-7 kali), dan tembaga (2-3 kali).
Selain itu, permintaan baterai
lithium-ion diprediksi juga meningkat, dari 2,7 TWh menjadi 5,9 TWh per
tahunnya pada 2030.
Pasar baterai yang ketat adalah ujian
berikutnya untuk mobil listrik setelah krisis chip.
"Permintaan baterai lithium-ion
untuk transportasi dan penyimpanan energi akan melonjak hingga 5,9 TWh per
tahun dalam 9 tahun lagi. Itu jelas akan membebani rantai pasok," demikian
menurut IEA. [qnt]