WahanaNews.co | Kedutaan Besar China di Washington membeberkan alasan negaranya sulit memastikan jumlah kematian akibat Covid-19 yang selama ini diprotes publik.
Juru bicara Kedubes China di Washington, Liu Pengyu, mengatakan Beijing kesulitan menghitung angka pasti lantaran negara itu menyetop tes Covid-19 terhadap semua penduduk.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Setelah penyesuaian terhadap perkembangan Covid-19, China berhenti melakukan tes Covid-19 terhadap semua warga. Itu yang membuat (kami) sulit mengetahui secara akurat berapa jumlah kasus Covid-19 (di China)," kata Liu saat jumpa pers, seperti dikutip dari News Week, Kamis (5/1).
Liu mengakui kasus Covid-19 di China belakangan memang sedang melonjak. Meski begitu, dia menegaskan jumlah kasus kematian di Beijing tak lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.
"Kami telah melihat peningkatan pesat dalam kasus Covid-19 baru-baru ini. Namun, secara global, China masih memiliki tingkat kasus akut dan kematian terendah," ujarnya.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
"Lonjakan infeksi di China bukanlah kasus yang tak biasa dibanding tempat lain di dunia."
Dalam kesempatan itu, Liu menjelaskan bagaimana cara Beijing mengidentifikasi kasus positif virus Corona. Dia berujar ada dua kriteria untuk menentukan kematian akibat Covid-19 secara global.
Pertama, kematian yang secara langsung disebabkan oleh masalah pernapasan akibat infeksi Covid-19. Kedua, kematian dalam 28 hari setelah terjangkit virus Corona.
"Sederhananya, kematian terkait Covid-19 dan kematian bersamaan dengan infeksi Covid-19. China telah mengadopsi kriteria kematian kategori pertama sejak 2020," papar Liu.
Liu lantas kembali mengatakan bahwa kondisi saat ini tidak memungkinkan Negeri Tirai Bambu mengetahui angka yang akurat. Kendati demikian, para pejabat kini sedang mendalami jumlah kasus Covid-19 yang sebetulnya di Beijing.
"Di masa pandemi dan penularan yang cepat, sulit untuk mengatakan dengan tepat berapa tingkat kematian akibat kasus itu," kata Liu.
"Namun China kini sedang mengumpulkan informasi melalui kuesioner dan survei dan akan terus mengungkapkan informasi tentang kematian dan kasus yang parah sesuai dengan prinsip kebenaran, keterbukaan, dan transparansi," ucap dia.
Beberapa waktu belakangan, Beijing menjadi sorotan sejumlah negara. Negeri Tirai Bambu itu terus mencatat lonjakan kasus Covid-19 yang signifikan usai mencabut kebijakan nol-Covid mereka pada 7 Desember.
Menurut catatan rapat badan kesehatan yang bocor ke media, pada 20 hari pertama Desember setidaknya 250 juta penduduk China diduga terinfeksi virus corona.
Namun, Komisi Kesehatan Nasional (National Health Commission/NHC) merilis angka berbeda. Menurut mereka, selama 20 hari pertama di Desember jumlah kasus di China tercatat 62.592 kasus.
Perbedaan angka itu pun membuat China kian disorot. Apalagi, setelah Beijing kedapatan mengalami kasus kematian yang membludak di sejumlah rumah sakit dan krematorium. Padahal kala itu China cuma mencatat segelintir kasus kematian saja.
Para ahli pun menilai Beijing tak transparan dengan jumlah kasus kematian akibat Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sampai mendesak China buka data lebih detail.
WHO baru-baru ini bahkan menuding China memanipulasi data kematian mereka. Meski begitu, China membantah tegas tuduhan tersebut.
"China selalu membagikan informasi dan data secara bertanggung jawab kepada komunitas internasional," kata Liu.[rna]