WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mendapatkan kunjungan dari Direktur Central Intelligence Agency (CIA), William J Burns, di sela kunjungan kerjanya di Amerika Serikat (AS).
Pertemuan tersebut berlangsung di Wisma Indonesia, Washington DC, pada Selasa (12/11/2024), sebelum Prabowo melanjutkan agendanya bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih.
Baca Juga:
Peran Penting Indonesia dalam Menangani Konflik Laut China Selatan (LCS)
Hingga kini, isi pembicaraan dalam pertemuan tertutup itu belum diungkap ke publik.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Assistant Director For EAPMC, Henry Kim, dan Chief Of Station Jakarta, Carlos, serta di sisi Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri RI Sugiono dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.
Pasca pertemuan tersebut, muncul spekulasi mengenai topik yang dibahas oleh kedua pihak.
Baca Juga:
PBB ASEAN Sepakat untuk Tegakkan Hukum Laut 1982
Menurut pakar Hubungan Internasional UI, Suzie Sudarman, pertemuan ini kemungkinan terkait dengan pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo dan Presiden China Xi Jinping dalam kunjungannya ke China sebelum ke AS.
Pernyataan bersama tersebut terdiri dari 14 poin yang sebagian besar membahas rencana kerja sama ekonomi dan politik.
Namun, salah satu poin, yaitu poin 9, menjadi kontroversial karena membahas "pengembangan bersama di wilayah dengan klaim yang tumpang tindih."
Poin ini dianggap bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dan memunculkan pertanyaan mengenai sikap Indonesia dalam sengketa Laut China Selatan.
"Jika CIA datang bertemu seperti ini, biasanya ada indikasi bahwa ada ancaman, apakah Anda bersama kami atau bersama pihak lain," kata Suzie saat diwawancarai Kompas.com pada Rabu (13/11/2024).
Suzie mengemukakan bahwa pernyataan tersebut mungkin berkaitan dengan ambisi China untuk membatasi Freedom of Navigation di Laut China Selatan melalui klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line), yang tidak diakui secara internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982.
"Saya menduga CIA ingin memperingatkan Indonesia agar tidak mendukung klaim China terkait nine dash line yang dapat mengancam kebebasan navigasi," jelas Suzie.
Ia juga mempertanyakan alasan Indonesia membuat pernyataan bersama dengan China, mengingat jarak kedua negara cukup jauh sehingga tidak ada wilayah perairan yang tumpang tindih, kecuali salah satu pihak mengklaim wilayah yang melampaui batas hukum internasional.
Pengamat Hubungan Internasional dari Unpad, Teuku Rezasyah, menambahkan bahwa kunjungan CIA tersebut kemungkinan memberikan penjelasan terkait pernyataan bersama antara Indonesia dan China.
CIA mungkin ingin memastikan bahwa pihak Indonesia memiliki pemahaman yang jelas mengenai potensi implikasi global dari pernyataan tersebut dan siap mengantisipasi langkah diplomatik China ke depan.
Rezasyah juga menduga bahwa CIA menawarkan kesediaannya untuk memperluas kerja sama intelijen yang sudah ada selama ini.
"CIA mungkin tidak ingin kehilangan momentum untuk memberikan pandangannya, sehingga delegasi RI mendapat informasi lebih spesifik dan siap mengantisipasi manuver diplomasi China pasca penandatanganan pernyataan bersama," ujarnya.
Setelah pertemuan, Prabowo menegaskan sikapnya mengenai konflik di Laut China Selatan.
Ia menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik dengan berbagai kekuatan internasional, namun tetap mengutamakan kedaulatan Indonesia.
"Kami membahas Laut China Selatan dan saya menekankan bahwa kami ingin bekerja sama dengan semua pihak. Kami menghormati kekuatan negara lain, tetapi kami juga akan mempertahankan kedaulatan kami," jelas Prabowo usai bertemu dengan Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, dalam unggahan di YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (14/11/2024).
Presiden Prabowo juga menekankan bahwa pendekatan kerja sama dianggap lebih konstruktif daripada konfrontasi atau permusuhan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]