WahanaNews.co, Jakarta - Holding BUMN Industri Pertahanan RI (DEFEND ID) membantah tiga perusahaan pelat merah di bawah naungannya mengekspor senjata ke Myanmar pasca kudeta militer pecah pada Februari 2021.
DEFEND ID menegaskan melalui PT Len Industri (Persero) sebagai induk holding dari PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia, mendukung penuh resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar sebagai upaya menghentikan krisis politik dan kekerasan di negara tetangga RI tersebut.
Baca Juga:
Lokasi Sempat Terdeteksi, 11 Warga Sukabumi Disekap di Wilayah Konflik Myanmar
"DEFEND ID menegaskan bahwa PT Pindad tidak pernah melakukan ekspor ke Myanmar setelah imbauan DK PBB pada 1 Februari 2021. Kami pastikan bahwa PT Pindad tidak melakukan kegiatan ekspor produk alpalhankam ke Myanmar terutama setelah muncul imbauan DK PBB pada 1 Februari 2021 terkait kekerasan di Myanmar," bunyi pernyataan DEFEND ID yang diterima CNNIndonesia.com pada Rabu (4/10).
"Pun halnya dengan PT DI dan PT PAL yang dipastikan tak memiliki kerja sama penjualan produk ke Myanmar. Dapat kami sampaikan tidak ada kerja sama maupun penjualan produk alpahankam dari kedua perusahaan tersebut ke Myanmar."
Klarifikasi ini keluar menyusul laporan yang dilayangkan sejumlah aktivis HAM kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI soal dugaan transaksi jual beli senjata ilegal dari Indonesia ke Myanmar.
Baca Juga:
Imbas Serangan Udara Junta Militer, 11 Warga Myanmar Tewas
Mantan Jaksa Agung Indonesia yang juga pernah mengetuai misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal Myanmar, Marzuki Darusman, menuturkan "penjualan ilegal" senjata ini terdiri dari senapan serbu, pistol, amunisi, kendaraan tempur, dan peralatan militer lainnya. Ia pun telah mengajukan temuan dan pengaduannya ini ke Komnas HAM RI pada Senin (2/10).
Marzuki menuturkan penjualan senjata ini kemungkinan sudah terjadi selama satu dekade terakhir, termasuk setelah dugaan pembantaian etnis minoritas Rohingya di Myanmar terus berlangsung dan kudeta junta militer pada 2021 lalu.
Dalam laporan Radio Free Asia (RFA), Marzuki mengatakan dia dan penggugat lainnya mengajukan tuduhan tersebut ketika Indonesia masih memegang jabatan Ketua ASEAN 2023.