WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah memanasnya konflik bersenjata antara Iran dan Israel, nama seorang perempuan asal China tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia.
Sosok ini bukan pejabat militer atau diplomat, melainkan seorang buronan internasional yang dicari dengan hadiah fantastis. Dialah Baoxia Liu.
Baca Juga:
Iran Bikin Israel Lumpuh Mental: Sirene Palsu Tanpa Serangan Picu Kekacauan Nasional
Foto Baoxia Liu mulai tersebar luas di berbagai media nasional dan internasional sejak Kamis (19/6/2025).
Ia menjadi buronan penting yang dicari oleh Federal Bureau of Investigation (FBI), yang bahkan menjanjikan hadiah sebesar 15 juta dolar AS, setara sekitar Rp245 miliar, bagi siapa pun yang dapat memberikan informasi yang mengarah pada penangkapannya.
“Hadiah ini untuk siapa saja yang bisa membantu membawa Liu ke pengadilan,” ujar juru bicara FBI dalam pernyataannya.
Baca Juga:
Pilar Kekuasaan Khamenei Runtuh Satu per Satu, Iran Hadapi Krisis Komando
Lantas, siapa sebenarnya Baoxia Liu dan apa kasus besar yang membelitnya?
Dikutip dari situs resmi FBI, Baoxia Liu lahir di Weifang, Shandong, China, pada 10 September 1981. Kini usianya menginjak 44 tahun. Ia juga dikenal dengan sejumlah alias, seperti Emily Liu dan Baojuan Liu.
Ciri fisik Liu adalah rambut hitam dan mata cokelat. Ia menguasai beberapa bahasa: Mandarin, Kanton, dan Farsi, kombinasi yang membuatnya mampu menjalin komunikasi lintas negara, terutama di kawasan Timur Tengah.
Baoxia Liu dituduh terlibat dalam konspirasi pengadaan teknologi canggih untuk Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (IRGC).
Bersama tiga warga China lainnya, Li Yongxin alias Emma Lee, Yung Yiu Wa alias Stephen Yung, dan Zhong Yanlai alias Sydney Chung, Liu menjalankan jaringan pengiriman komponen elektronik asal AS yang dikendalikan ekspor, namun diam-diam disalurkan ke perusahaan-perusahaan yang berkaitan erat dengan IRGC.
Dalam laporan resmi Program Rewards for Justice dari Departemen Luar Negeri AS, kelompok ini diketahui beraksi sejak tahun 2017.
Mereka memanfaatkan perusahaan kedok yang berbasis di Republik Rakyat Tiongkok untuk menyelundupkan teknologi penggunaan ganda ke Iran, termasuk komponen penting yang bisa digunakan dalam pembuatan drone tempur (UAV), sistem rudal balistik, dan perangkat militer lainnya.
Beberapa perusahaan penerima teknologi ilegal itu termasuk Shiraz Electronics Industries (SEI), Rayan Roshd Afzar, dan sejumlah afiliasinya.
Barang-barang canggih asal AS tersebut diduga digunakan oleh IRGC dalam memproduksi senjata yang kemudian dijual ke negara-negara seperti Rusia, Sudan, dan Yaman.
Aksi ilegal Baoxia Liu dan rekan-rekannya dinilai melanggar sanksi ekonomi AS dan sejumlah undang-undang pengendalian ekspor.
Pada 30 Januari 2024, Departemen Kehakiman AS secara resmi mengumumkan tuntutan pidana terhadap keempat tersangka atas persekongkolan selama bertahun-tahun dalam menyelundupkan ribuan komponen elektronik senjata dari Amerika Serikat ke Iran.
Kini, dunia internasional menantikan langkah berikutnya dari aparat hukum global. Akankah Baoxia Liu berhasil ditangkap? Atau justru terus bersembunyi di balik jaringan intelijen gelap lintas negara?
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]