Para kritikus mengatakan kondisi itu semakin parah ketika Gotabaya memberlakukan pemotongan pajak setelah berkuasa, terlebih ketika pandemi Covid-19 menghantam sektor pariwisata yang menjadi andalan Sri Lanka.
Meskipun didesak oleh para pakar dan pemimpin oposisi, pemerintah menolak bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) selama berbulan-bulan, bahkan ketika krisis finansial semakin memburuk dan cadangan devisa semakin berkurang.
Baca Juga:
Presiden Jokowi dan Presiden Wickremesinghe Bahas Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Sri Lanka
Sri Lanka memiliki cadangan sekitar 2,31 miliar dolar AS (Rp33,18 triliun) hingga Februari, sementara mereka harus membayar utang sekitar 4 miliar dolar hingga akhir tahun.
Pemerintah kemudian berubah sikap dan akan mulai berunding dengan IMF bulan ini.
Dalam pidato di televisi pada pertengahan Maret, Gota mengatakan dirinya memahami kesulitan yang dihadapi rakyat Sri Lanka, karena impor terhenti akibat kekurangan devisa dan inflasi meroket.
Baca Juga:
Bakamla RI Terima Kunjungan Kehormatan DSCSC Sri Lanka
"Saya amat menyadari adanya kelangkaan bahan pokok dan kenaikan harga-harga," kata dia.
"Saya juga menyadari berbagai isu seperti kelangkaan gas, kelangkaan bahan bakar dan pemadaman listrik," lanjutnya.
Namun dia menjaga jarak dari masalah-masalah itu dengan mengatakan: "Krisis tersebut bukan diciptakan oleh saya."