WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sebanyak 4.276 Warga Negara Indonesia (WNI) di Amerika Serikat menghadapi ancaman deportasi di bawah kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump.
Mereka termasuk sekelompok orang dengan masalah keimigrasian, mulai dari dokumen yang tidak valid, izin tinggal yang kedaluwarsa, hingga kasus hukum yang menyeret nama mereka.
Baca Juga:
Bekerja Jadi instruktur Selam di Bali, Turis Jerman Dideportasi
Seluruhnya telah menerima final order removal—perintah pemindahan terakhir yang mengharuskan mereka meninggalkan AS.
Keputusan ini dijatuhkan bagi mereka yang dianggap tidak lagi memiliki dasar hukum untuk tetap tinggal di negara tersebut.
Umumnya, final order removal dikeluarkan bagi individu dengan catatan kriminal, pelanggaran imigrasi, atau status keimigrasian yang tidak lagi berlaku.
Baca Juga:
WNA Asal Kanada Dirikan Perusahaan Fiktif, Dideportasi Imigrasi Bali
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menjelaskan bahwa dari 4.276 WNI tersebut, sebagian besar tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah dan belum menjalani proses hukum lebih lanjut.
Angka tersebut merupakan bagian dari total 1,4 juta individu yang masuk dalam daftar deportasi AS.
Judha mencontohkan kasus seorang WNI berinisial BK di New York yang ditangkap pada akhir Januari 2025 saat melapor tahunan di kantor Immigration and Customs Enforcement (ICE). BK telah masuk dalam daftar deportasi sejak 2009.
Selain itu, seorang WNI lain berinisial TRN juga ditahan di Atlanta, Georgia, pada 29 Januari.
"Saat ini, hanya dua WNI yang kami dapatkan informasinya sedang ditahan. Kami akan terus melakukan pemantauan," ujar Judha dalam keterangannya kepada media pada Kamis (13/2/2025) di Jakarta.
Langkah yang Dapat Ditempuh WNI
Judha mengimbau para WNI yang masuk dalam daftar deportasi untuk segera melapor ke perwakilan diplomatik Indonesia di AS. Ia juga menekankan pentingnya pemahaman hak-hak mereka sesuai hukum AS.
Perwakilan diplomatik Indonesia akan menyediakan pendampingan hukum bagi mereka yang terancam dideportasi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra, juga telah menyoroti kebijakan deportasi besar-besaran yang direncanakan oleh Presiden Donald Trump.
Yusril menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah perlindungan bagi WNI yang berada di luar negeri.
"Oleh karena itu, kita harus bertindak untuk melindungi warga negara kita di luar negeri. Itu langkah yang normal untuk dilakukan," ujar Yusril.
Pada akhir Januari lalu, pemerintah Indonesia telah merencanakan pembentukan tim khusus guna mengantisipasi isu deportasi ini.
Menteri HAM, Natalius Pigai, menyebut pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan perlindungan bagi WNI yang terdampak kebijakan ini.
Pigai mengungkap bahwa selama masa kampanye pemilihan presiden AS, pihaknya telah menerima laporan mengenai keresahan sejumlah WNI di AS akibat permasalahan imigrasi.
Beberapa dari mereka diketahui menetap dengan visa turis atau mengajukan suaka politik menggunakan dokumen yang tidak valid.
Pengamat hubungan internasional, Hikmahanto Juwana, menilai bahwa pemerintah Indonesia perlu memastikan kesiapan akomodasi bagi WNI jika kebijakan deportasi benar-benar dijalankan.
"Siapa tahu mereka tidak memiliki uang untuk kembali ke Indonesia. Jika demikian, kita bisa menjemput mereka dengan satu pesawat," ujar Hikmahanto dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada Jumat (14/2).
Menurutnya, kebijakan deportasi ini tidak terhindarkan karena banyak imigran yang masuk daftar deportasi disebabkan visa yang telah kedaluwarsa atau izin tinggal yang tidak lagi berlaku.
Perbandingan Kebijakan Imigrasi Trump dan Biden
Hikmahanto juga menyoroti perbedaan pendekatan antara pemerintahan Trump dan Biden dalam menangani imigran.
Ia menilai bahwa pemerintahan Trump lebih tegas dan agresif dalam menerapkan kebijakan deportasi dibandingkan era Joe Biden.
Menurut Hikmahanto, selama kepemimpinan Biden, banyak kasus imigrasi yang sebenarnya diketahui pemerintah AS tetapi dibiarkan karena keberadaan tenaga kerja imigran dianggap penting bagi perekonomian negara.
"Banyak yang tahu, tetapi dianggap oleh pemerintah Amerika tidak terjadi, sehingga mereka tidak mengalami deportasi," katanya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]