WAHANANEWS.CO, Jakarta - Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) untuk Indonesia dan ASEAN, Abdulla Salem AlDhaheri, menegaskan bahwa negaranya tidak terlibat dalam perang saudara yang berlangsung di Sudan.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam sebuah press briefing pada Jumat (5/12/2025) malam di rumah dinasnya di Jakarta.
Baca Juga:
Geser Tokyo, PBB Nobatkan Jakarta Kota Terpadat di Dunia
Ia menekankan, tuduhan keterlibatan UEA dalam mendukung salah satu pihak yang berkonflik tidak berdasar.
AlDhaheri menolak keras klaim bahwa UEA berada di belakang Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF).
Ia menegaskan kembali posisi negaranya dalam konflik tersebut.
Baca Juga:
Hampir 100 Ribu Warga Tinggalkan El-Fasher Setelah RSF Kuasai Darfur Utara
“Saya sudah menyampaikan hal ini dan saya katakan ini adalah tuduhan yang salah,” ujarnya menegaskan.
Menurutnya, UEA tidak berpihak kepada siapa pun dalam pertikaian yang telah menelan ribuan korban itu.
Sebaliknya, ia memastikan bahwa UEA justru mendorong terciptanya kondisi damai di Sudan.
“Saya telah menyampaikan bahwa negara saya telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Sudan dan UEA tidak benar-benar mendukung kedua belah pihak. Kami ingin melihat gencatan senjata, gencatan senjata segera,” kata Dubes AlDhaheri menekankan.
Selama ini, UEA kerap dituduh oleh Sudan maupun sejumlah negara lain sebagai penyokong RSF kelompok yang hampir dua tahun terakhir berperang melawan militer Sudan atau Sudan Armed Forces (SAF).
Tuduhan tersebut kembali mencuat seiring meningkatnya eskalasi konflik, seperti diberitakan oleh France24.com. RSF sendiri dituduh melakukan kejahatan perang di wilayah Darfur Utara.
Perang saudara antara RSF dan SAF yang pecah sejak April 2023 telah menewaskan lebih dari 2.000 orang, berdasarkan laporan Aljazeera yang mengutip pernyataan resmi pemerintah Sudan pada awal November 2025.
Konflik yang berkepanjangan ini juga memicu kekhawatiran komunitas internasional mengenai potensi meluasnya kekejaman.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menyampaikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan terjadinya gelombang kekerasan baru di Sudan.
Hal itu mengingat meningkatnya pertempuran antara SAF, RSF, dan kelompok Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Utara (SPLM-N) di wilayah Kordofan.
Ia menilai, situasi kemanusiaan di wilayah tersebut semakin memburuk dari hari ke hari.
Sejak 25 Oktober lalu, setelah RSF menguasai kota Bara di Kordofan Utara, Kantor HAM PBB mencatat setidaknya 269 warga sipil tewas akibat serangan udara, rentetan tembakan artileri, serta eksekusi singkat.
“Gangguan telekomunikasi dan internet menghambat pelaporan yang akurat, sehingga jumlah korban sipil kemungkinan akan jauh lebih tinggi. Terdapat pula laporan pembunuhan balasan, penahanan sewenang-wenang, penculikan, kekerasan seksual, dan perekrutan paksa, termasuk terhadap anak-anak,” kata Turk, Rabu (3/12/2025).
Selain itu, laporan terpisah PBB menyebutkan bahwa pada 3 November lalu sebuah pesawat tanpa awak milik RSF menyerang tenda tempat para pelayat berkumpul di El Obeid, Kordofan Utara, menewaskan 45 orang, sebagian besar perempuan.
Sementara itu, pada 29 November, serangan udara SAF di Kauda, Kordofan Selatan, mengakibatkan sedikitnya 48 warga sipil meninggal dunia.
Pertempuran intens antarkedua kubu terus berlanjut di tiga negara bagian Kordofan, menyebabkan jumlah korban sipil semakin meningkat dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah berlangsung sejak awal konflik.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]