WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, ditangkap di Bandara Manila pada Selasa (11/3/2025).
Penangkapan ini dilakukan pihak kepolisian berdasarkan surat perintah dari International Criminal Court (ICC), yang tengah menyelidiki dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kebijakan perang terhadap narkoba yang diterapkan Duterte selama masa kepemimpinannya.
Baca Juga:
Investasi Bodong di Klaten, Ratusan Korban Tertipu Hingga Rp60 Miliar
Menurut laporan Reuters, ICC berencana melakukan penyelidikan lebih lanjut atas dugaan keterlibatan Duterte dalam kebijakan yang menyebabkan ribuan warga Filipina tewas dalam operasi pemberantasan narkoba.
Sehari sebelum penangkapannya, Duterte sempat menyatakan di Hong Kong, "Saya siap ditangkap jika ICC mengeluarkan surat perintah. Saya tidak pernah memerintahkan pembunuhan sewenang-wenang. Polisi hanya bertindak jika nyawa mereka dalam bahaya."
Kantor Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr, telah menerima salinan resmi surat perintah tersebut dan memastikan bahwa Duterte kini telah ditahan oleh pihak berwenang.
Baca Juga:
Kontroversi Kematian Kim Sae-ron, Benarkah Kim Soo-hyun Ikut Terseret?
"Kami telah menerima surat perintah dari ICC dan menyerahkannya kepada yang bersangkutan. Saat ini, Duterte dalam tahanan," bunyi pernyataan resmi dari kantor kepresidenan.
Namun, mantan penasihat hukumnya, Salvador Panelo, menilai penangkapan ini tidak sah.
"Penangkapan ini melanggar hukum! Polisi bahkan tidak mengizinkan pengacara Duterte untuk menemuinya di bandara," tegas Panelo dalam keterangannya pada media, Selasa (11/3/2025).
Kebijakan perang terhadap narkoba yang diusung Duterte sejak menjabat sebagai Presiden Filipina pada 2016 menjadi salah satu faktor utama yang membawanya ke puncak kekuasaan.
Sebagai mantan wali kota yang dikenal keras terhadap kejahatan, Duterte menjadikan kebijakan ini sebagai program andalan dalam upayanya menekan peredaran narkoba di Filipina.
Pada 2019, Duterte bahkan menarik Filipina dari keanggotaan ICC sebagai bentuk perlawanan terhadap penyelidikan yang mulai dilakukan terhadap kebijakannya.
Hingga tahun lalu, pemerintah Filipina juga menolak untuk bekerja sama dengan ICC dalam proses penyelidikan tersebut.
Menurut laporan kepolisian, sebanyak 6.200 tersangka narkoba tewas dalam operasi yang mereka klaim sebagai aksi baku tembak. Namun, kelompok aktivis hak asasi manusia menyebut jumlah korban sebenarnya jauh lebih besar.
"Jumlah korban jauh lebih banyak dari yang dilaporkan. Banyak pengguna narkoba di daerah kumuh yang masuk dalam daftar pantauan resmi ditemukan tewas secara misterius," ungkap seorang aktivis HAM kepada media.
Meski demikian, pihak kepolisian membantah terlibat dalam pembunuhan di luar hukum.
"Kami hanya bertindak sesuai prosedur. Tidak ada eksekusi sistematis seperti yang dituduhkan," kata juru bicara kepolisian.
Mereka juga menolak tuduhan dari berbagai kelompok hak asasi manusia yang menyebut bahwa telah terjadi eksekusi sistematis serta upaya untuk menutup-nutupi fakta di balik kebijakan tersebut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]