WahanaNews.co |
Setelah nyaris 17 tahun berperang di dunia perdagangan pesawat, Boeing dan
Airbus secara resmi melakukan gencatan senjata.
Semua itu tak lepas dari
subsidi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan Eropa kepada kedua produsen
pesawat tersebut.
Baca Juga:
Jet Tempur F-15EX yang Dibeli Indonesia Berhasil Tembakkan Rudal Jelajah
Perselisihan ini berakhir
pekan lalu, setelah kedua belah pihak menandatangani gencatan senjata lima
tahun, yang berisi penangguhan tarif.
Dalam kunjungannya ke Belgia,
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengatakan, AS dan Uni Eropa harus bekerjasama
melawan praktik China di sektor ini.
"Washington dan Brussel
harus bekerjasama untuk menantang dan melawan praktik non-pasar China di sektor
ini, yang memberi perusahaan China keuntungan yang tidak adil," kata
Biden, dilansir dari AFP, Minggu
(20/6/2021).
Baca Juga:
China Klaim Pesawat C919 Buatannya Lebih Unggul dari Para Pesaing
Nyatanya, perang dagang
antara kedua negara ini telah memberikan keuntungan kepada China.
China menggelontorkan uang ke
pesawat komersialnya sendiri untuk menghadapi duopoli perusahaan penerbangan
barat tersebut.
Selama empat tahun terakhir,
produsen yang dikelola negara Commercial
Aircraft Corporation of China (COMAC) telah menjalankan uji terbang untuk
pesawat C919 berbadan sempit dengan 168 kursi, pesaing potensial untuk Airbus
A320 dan Boeing B737.
COMAC menargetkan mendapatkan
sertifikasi kelaikan udara dari regulator lalu lintas udara China tahun ini,
bertepatan dengan peringatan 100 tahun Partai Komunis China.
Menurut Scott Kennedy,
Penasihat Senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington,
perusahaan ini menerima US$ 49 miliar - US$ 72 miliar (Rp 710,50 triliun - Rp
1.044 triliun, asumsi kurs Rp 14.500/US$) dalam bentuk subsidi pemerintah.
Nilai itu jauh lebih banyak
daripada bantuan yang diberikan Airbus dan Boeing oleh pemerintah mereka.
"Masalah yang sangat
nyata adalah bahwa China memanipulasi pasar dalam memainkan Airbus dan Boeing
terhadap satu sama lain dan menuntut transfer teknologi sebagai syarat untuk
pesanan," kata Richard Aboulafia, pakar penerbangan di Teal Group, sebuah perusahaan analisis
pasar yang berbasis di Virginia, AS.
Lalu lintas udara China telah
pulih jauh lebih cepat daripada di negara lain di dunia.
Semua itu tak lepas dari
pengendalian wabah virus Corona relatif jauh sebelum yang lain tahun lalu.
Boeing percaya bahwa pasar
China akan membutuhkan 9.360 pesawat dalam 20 tahun ke depan, seperlima dari
total kebutuhan dunia.
Sehingga, adanya pesawat ini
dinilai akan menjadi rejeki nomplok besar untuk A320 dan 737 MAX, meskipun
China belum mengizinkan pengembalian pesawat Boeing setelah dua kecelakaan
fatal yang terjadi 20 bulan terakhir.
Saat ini, COMAC memiliki 815
pesanan dari 28 klien, sebagian besar dari maskapai China, meski baru sedikit
dari pesanan ini bisa dikonfirmasi.
China Eastern Airlines adalah
perusahaan pertama yang membuat pesanan lima pesawat pada Maret lalu.
Kennedy mengungkapkan, C919
dibangun dengan bantuan AS dan Eropa.
Hanya 14 dari 82 pemasok
pesawat tersebut berasal dari China.
Sayap dan badan pesawat
adalah buatan China, tetapi pabrikan di dalam negeri belum menguasai
keterampilan membuat mesin atau peralatan elektronik pesawat terbang.
Pesawat ini lebih berat
daripada pesawat AS dan Eropa, sehingga kurang hemat bahan bakar.
Imbasnya, menurut Kennedy,
operasionalnya menjadi lebih mahal. [dhn]