WAHANANEWS.CO, Jakarta - Filipina menargetkan tercapainya penyelesaian kode etik Laut China Selatan (LCS) saat negara tersebut menjabat sebagai ketua ASEAN pada 2026.
Harapan ini mengemuka seiring adanya konsensus yang mulai terbentuk antara negara-negara Asia Tenggara dan Tiongkok mengenai pentingnya aturan yang jelas dan disepakati bersama.
Baca Juga:
Badai Tropis Bualoi Terjang Filipina, 10 Orang Tewas dan 13 Hilang
Menteri Luar Negeri Filipina, Theresa Lazaro, menegaskan bahwa kedua belah pihak sudah memiliki kesamaan pandangan terkait urgensi penyelesaian dokumen tersebut.
Dalam laporan The Straits Times, Lazaro menyampaikan bahwa kode etik yang saat ini sedang dinegosiasikan harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat agar dapat benar-benar diterapkan di lapangan.
Ia mengingatkan bahwa ASEAN dan Tiongkok sebenarnya telah berkomitmen menyusun kode etik ini sejak 2002.
Baca Juga:
Ribuan Warga Manila Turun ke Jalan, Korupsi Proyek Hantu Rp34,3 Triliun Picu Gejolak Nasional
Namun, perjalanan menuju kesepakatan final berjalan sangat panjang; dibutuhkan waktu hingga 15 tahun hanya untuk memulai pembahasan resmi, dan perkembangan yang diraih hingga kini masih dinilai lambat.
Lazaro mengungkapkan bahwa meskipun prosesnya berlarut-larut, terdapat pemahaman bersama bahwa penyelesaian kode etik merupakan aspirasi seluruh negara ASEAN maupun Tiongkok.
Dokumen tersebut akan menjadi instrumen penting dalam mengatur perilaku negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan Laut China Selatan.
Selama ini, Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya, yang ditegakkan melalui keberadaan kapal penjaga pantai serta milisi maritim.
Klaim tersebut seringkali memicu ketegangan karena sejumlah negara tetangga menuduh Tiongkok bersikap agresif dan mengganggu aktivitas penangkapan ikan maupun eksplorasi energi yang berada di zona ekonomi eksklusif mereka.
Hubungan Tiongkok dan Filipina sendiri mengalami peningkatan tensi dalam beberapa tahun terakhir, di mana masing-masing pihak saling melempar tuduhan pelanggaran wilayah.
Di sisi lain, Amerika Serikat juga menyoroti dinamika tersebut dan menuduh Beijing melakukan tindakan yang mengancam stabilitas kawasan.
Filipina berharap keberadaan kode etik ini dapat menjadi pedoman hukum yang jelas bagi seluruh pihak yang berkepentingan di Laut China Selatan.
Selain meredam potensi konflik, penyelesaian dokumen ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas regional serta mempererat hubungan diplomatik antara ASEAN, Tiongkok, dan negara-negara mitra di sekitarnya.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]