WahanaNews.co | Kritik tidak pernah ditanggapi secara bijak oleh Partai Komunis China (PKC), baik di dalam maupun di luar negeri.
Kendati Indeks Kebebasan Pers mengindikasikan kebijakan ekstrem yang diambil Partai Komunis untuk membingkai arus informasi di China, namun upaya mendikte narasi media di dunia tentunya bukanlah perkara sederhana.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Meski demikian, riset lembaga wadah pemikir AS, Freedom House, mengungkap bagaimana China menggiatkan kampanye media di luar negeri.
Antara 2019 dan 2021, PKC terbukti mempengaruhi pemberitaan media di 18 dari 30 negara demokrasi di dunia.
Dari semua negara, sebanyak 16 di antaranya mencatatkan tingkat pengaruh "tinggi" atau "sangat tinggi", yang mengindikasikan bahwa China menggunakan berbagai metode untuk menekan media.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Cara-cara itu antara lain mencakup intimidasi terhadap jurnalis dan kantor berita, mengirimkan konten propaganda kepada media asing, menggencarkan kampanye pro-China di media sosial, mengawasi pertukaran informasi di kalangan diaspora China, dan memperkuat kontrol pemerintah terhadap platform media sosial.
Kebijakan itu diambil untuk mengontrol citra China di dunia, menurut peneliti Freedom House, Angeli Datt.
"Dengan menggencarkan kampanye global yang mahal dan agresif ini, Beijing ingin membentuk opini publik dan mendiktekan pandangan yang positif tentang Partai Komunis dan kebijakan-kebijakan represifnya," kata dia kepada DW.
Taktik Agresif China
Intimidasi dan sensor adalah upaya China yang paling mencolok untuk mengontrol pemberitaan media internasional, tulis Freedom House.
Laporan tersebut merujuk pada maraknya kasus sensor oleh jurnalis dan pelaku bisnis, antara lain di Israel, Ghana, Inggris, Argentina, Brasil, Malaysia, Taiwan, dan India.
Kasus terbesar melibatkan praktik perundungan siber terhadap seorang jurnalis Amerika dan peneliti Australia berdarah China.
Upaya Beijing mempengaruhi media global tidak selamanya berdampak negatif.
Ekspansi tersebut hanya dimungkinkan karena China giat mengucurkan kredit pembangunan infrastruktur telekomunikasi di negara-negara berkembang.
"China tidak akan bisa mencapai kesuksesannya saat ini jika tidak terlebih dahulu menanggulangi masalah-masalah dasar," dalih Freedom House.
"Ketersediaan teknologi seluler dan layanan televisi digital oleh China memperluas akses informasi dan komunikasi bagi jutaan orang, terutama di Afrika dan Asia Tenggara."
Berita Propaganda untuk Afrika
Afrika adalah lahan paling subur bagi pengaruh China.
Hal ini dimungkinkan oleh rendahnya kemampuan finansial media-media nasional, yang ditambah dengan lemahnya institusi pemerintahan dan demokrasi.
Analis media Nigeria, Emeka Umejei, pernah mengkaji pengaruh China dalam salah satu bukunya.
Dia mencatat betapa Beijing membanjiri media-media Afrika dengan berita dan konten yang dibuat stasiun televisi pemerintah China.
Dia mencontohkan pemberitaan negatif media Afrika terhadap kunjungan Ketua Parlemen AS, Nancy Pelosi, ke Taiwan, yang mengikuti narasi buatan Beijing.
"Ada perjanjian pembagian konten antara media China dan Afrika," kata Umejei.
"Sebagian besar media Afrika terikat di dalam perjanjian ini. Mereka tidak akan menurunkan laporan kritis terhadap China," imbuhnya.
"Hal ini diperkuat dengan kemitraan antara kedutaan China dan media lokal. Relasi ini terjadi di penjuru Afrika."
Sasaran Jangka Panjang
Kendati kampanye yang masif, Freedom House dan lembaga lain mencatat persepsi publik terhadap China lebih negatif ketimbang pada awal 2019, ketika pertama kali digencarkan Beijing.
"Saat itulah muncul gelombang kecaman global yang diawali dengan pelanggaran HAM berat di Xinjiang, protes di Hong Kong dan sejak 2020 pandemi Covid-19," kata Datt.
"Banyak tindakan Beijing yang justru memusatkan perhatian global pada tindakan represif partai," imbuhnya.
Namun, menurut Umejei, pemerintah China tidak membidik keuntungan cepat.
"Kemitraan dengan China mempengaruhi peliputan di lapangan. Saya sering berkata, hari ini memang cuma soal kepentingan sesaat, tapi jika kita melihat 10 atau 15 tahun ke depan, kita akan melihatnya dengan cara berbeda," katanya. [gun]