WAHANANEWS.CO, Jakarta - Perjalanan tragis pendaki asal Brasil, Juliana Marins, yang meninggal dunia saat mendaki Gunung Rinjani, kembali menjadi sorotan usai hasil autopsi ulang dirilis secara resmi.
Pihak keluarga yang sebelumnya meragukan laporan medis di Indonesia, berharap autopsi kedua ini dapat memberi jawaban yang lebih akurat.
Baca Juga:
Keluarga Brigadir J Pasrah Hasil Autopsi Kedua, Dokter Forensik Minta Maaf
Institut Kedokteran Forensik (IML) Rio de Janeiro mengumumkan hasil autopsi ulang terhadap jenazah Juliana Marins pada Kamis (10/7/2025).
Hasilnya menunjukkan bahwa Juliana meninggal akibat jatuh dari ketinggian, dengan penyebab langsung berupa pendarahan internal yang disebabkan oleh sejumlah cedera berat dan trauma.
“Juliana mengalami patah tulang panggul, dada, dan tengkorak. Jenis cedera ini konsisten dengan jatuh dari ketinggian,” demikian bunyi laporan IML seperti dikutip media Brasil, Globo.
Baca Juga:
Hasil Autopsi Pertama dan Kedua Brigadir J
Laporan menyatakan, Juliana meninggal dalam rentang waktu 10 hingga 15 menit setelah menderita cedera. Luka-lukanya membuatnya tidak mampu bergerak atau meminta bantuan.
Ia kemungkinan besar mengalami penderitaan fisik dan psikologis yang hebat sebelum meninggal dunia.
IML juga mengonfirmasi bahwa jenazah Juliana telah mengalami proses pembalseman, yang menghambat sejumlah analisis penting.
Misalnya, pengawetan membuat waktu kematian tidak dapat ditentukan secara presisi, dan tanda-tanda klinis lainnya menjadi sulit untuk dipastikan.
Juliana terjatuh saat melakukan pendakian menuju puncak Gunung Rinjani, tepatnya dalam perjalanan dari tepi jurang Cemara Nunggal menuju Danau Segara Anak pada 21 Juni.
Tim penyelamat baru berhasil mengevakuasi jasadnya pada 25 Juni, setelah upaya pencarian yang berlangsung intens dan penuh risiko.
Autopsi ulang dilakukan setelah jenazah Juliana tiba di Brasil. Pemeriksaan dilakukan pada 2 Juli 2025 oleh dua ahli forensik dari Kepolisian Sipil Rio, serta disaksikan oleh seorang ahli dari Kepolisian Federal dan asisten teknis dari pihak keluarga.
Autopsi dimulai pukul 08.30 dan selesai sekitar pukul 11.00 waktu setempat.
Pihak keluarga berharap proses ini bisa menjawab pertanyaan mereka mengenai waktu kematian yang pasti dan kemungkinan adanya unsur kelalaian selama proses evakuasi atau penanganan awal.
Sebelumnya, tim forensik di Bali telah lebih dahulu melakukan autopsi. Saat itu, disebutkan bahwa Juliana meninggal akibat luka dalam dan fraktur di berbagai bagian tubuh.
Tidak ditemukan tanda-tanda hipotermia, dan disimpulkan bahwa korban hanya bertahan hidup kurang dari 20 menit setelah mengalami trauma.
Namun, hasil tersebut sempat mengecewakan pihak keluarga karena diumumkan ke publik lebih dulu sebelum disampaikan secara langsung kepada mereka.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]