WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan antara India dan Pakistan kembali meningkat setelah pemerintah India mengancam akan memutus pasokan air dari Sungai Indus.
Ancaman tersebut memicu reaksi cepat dari China yang segera mempercepat pembangunan proyek bendungan besar di Pakistan sebagai bentuk dukungan terhadap mitra strategisnya itu.
Baca Juga:
Pendapatan Pakistan Naik Tajam, Meski Dihantam Ketegangan dengan India
Media pemerintah China melaporkan bahwa China Energy Engineering Corporation, perusahaan milik negara, telah mempercepat pekerjaan pada Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Mohmand yang berlokasi di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan.
Proyek yang dimulai pada September 2019 itu kini memasuki tahap krusial, yakni pengisian beton pada tubuh bendungan, dan ditargetkan selesai pada tahun depan.
Langkah percepatan ini dilakukan tak lama setelah India mengumumkan penangguhan Perjanjian Air Indus 1960, kesepakatan yang selama lebih dari enam dekade mengatur pembagian air antara India dan Pakistan.
Baca Juga:
Tiga Alasan Strategis di Balik Dukungan Israel terhadap India: Dari Terorisme hingga Geopolitik
Keputusan itu diambil menyusul serangan militan yang menewaskan sejumlah wisatawan di wilayah Kashmir yang dikuasai India pada 22 April lalu. India menuding Pakistan sebagai tempat perlindungan kelompok militan tersebut, tuduhan yang dibantah keras oleh Islamabad.
Penangguhan perjanjian air itu menimbulkan kekhawatiran besar di Pakistan, yang sangat bergantung pada aliran Sungai Indus untuk lebih dari 80 persen kebutuhan pertanian nasionalnya.
Pemerintah Pakistan memperingatkan bahwa setiap upaya untuk menghentikan atau mengalihkan aliran air dari wilayah hulu akan dianggap sebagai tindakan perang yang akan direspons dengan kekuatan penuh.
Dalam pernyataan resminya, Islamabad menegaskan bahwa air adalah kepentingan vital nasional dan merupakan sumber kehidupan bagi 240 juta rakyat Pakistan.
Pekan sebelumnya, kedua negara sempat mencapai kesepakatan gencatan senjata setelah serangkaian bentrokan yang dipicu oleh serangan teroris di Kashmir menewaskan 26 orang.
Namun, ketegangan tetap tinggi seiring India mempertimbangkan langkah-langkah pembalasan lebih lanjut, termasuk peningkatan pengambilan air dari sistem Sungai Indus.
Perdana Menteri Narendra Modi dikabarkan telah menginstruksikan para pejabat untuk mempercepat perencanaan proyek pengelolaan air di Sungai Chenab, Jhelum, dan Indus.
Di bawah kerangka Perjanjian Air Indus 1960, Pakistan memiliki hak utama atas Sungai Indus dan anak-anak sungainya, sementara India diperbolehkan memanfaatkan sungai-sungai bagian timur seperti Ravi, Sutlej, dan Beas. Infrastruktur bendungan besar India, termasuk Bhakra Nangal, menjadi elemen penting dalam sistem pengelolaan air nasionalnya.
Pakistan sendiri sangat rentan terhadap ketidakpastian aliran sungai ini. Sistem pertaniannya yang rapuh masih belum pulih dari dampak banjir besar tahun 2022 yang menghancurkan lahan pertanian dan hewan ternak dalam skala masif.
Dalam konteks ini, Bendungan Mohmand dirancang sebagai fasilitas serbaguna yang mampu membangkitkan listrik hingga 800 megawatt, mengendalikan banjir, menyediakan irigasi, dan menyuplai hingga 300 juta galon air minum setiap hari ke ibu kota provinsi, Peshawar.
China telah menjadi mitra dekat Pakistan selama lebih dari tujuh dekade. Dalam kerangka Koridor Ekonomi China-Pakistan atau China-Pakistan Economic Corridor (CPEC), Beijing telah menggelontorkan investasi miliaran dolar untuk proyek-proyek infrastruktur strategis, termasuk pembangunan Bendungan Diamer-Bhasha di aliran Sungai Indus.
Meski mendukung Pakistan secara ekonomi dan strategis, China mengambil langkah hati-hati dalam menyikapi konflik yang memanas.
Beijing mendesak kedua negara untuk menahan diri dan menjaga stabilitas regional. Namun, dengan mempercepat proyek bendungan, China juga menunjukkan bahwa komitmennya terhadap Pakistan tetap kuat dan tak tergoyahkan.
Menurut Dr. Asif Shuja, peneliti senior di Institute of South Asian Studies, National University of Singapore, ancaman India atas Sungai Indus mencerminkan perubahan drastis dalam cara New Delhi memandang tekanan diplomatik.
Ia menyebut bahwa air kini telah menjadi alat tawar yang setara dengan instrumen militer. “India tengah menguji batas dari diplomasi air.
Ini bukan sekadar reaksi terhadap serangan teror, melainkan bagian dari tekanan sistematis terhadap Pakistan untuk merombak kebijakan keamanan lintas batasnya,” kata Shuja.
Ia memperingatkan bahwa jika air digunakan sebagai senjata politik, risiko konflik terbuka akan meningkat signifikan.
Sementara itu, Prof. Ayesha Jalal, sejarawan dan pakar hubungan India-Pakistan dari Tufts University, menilai bahwa langkah India mencabut perjanjian air lama adalah sinyal bahwa fondasi perdamaian yang tersisa di antara kedua negara tengah rapuh.
“Perjanjian Air Indus selama ini dianggap sebagai satu-satunya warisan damai yang bertahan sejak pecahnya India dan Pakistan. Jika itu diganggu, maka kita benar-benar berada di wilayah yang berbahaya,” ujarnya.
Dari sisi India, analis kebijakan luar negeri Dr. Sreeradha Datta dari South Asian University menyoroti bahwa keterlibatan aktif China dalam proyek air Pakistan tak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik regional.
“Partisipasi China dalam proyek-proyek bendungan di kawasan perbatasan, termasuk di Gilgit-Baltistan dan Khyber Pakhtunkhwa, sudah pasti akan dianggap India sebagai provokasi,” ujar Datta.
Ia menambahkan bahwa konflik ini bukan lagi semata perseteruan bilateral, tetapi berpotensi menjadi medan baru perebutan pengaruh antara kekuatan besar di Asia.
Situasi ini menunjukkan bahwa air, sumber kehidupan yang selama ini dianggap netral, kini telah menjelma menjadi alat konflik di tengah rivalitas geopolitik Asia Selatan yang terus bereskalasi.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]