WahanaNews.co | Salah satu jurnalis Filipina sekaligus pendiri media Rappler, Maria Ressa, menjadi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 pada Jumat (8/10/2021).
Nama Ressa terus menjadi sorotan setelah ia dan medianya vokal menyuarakan dugaan penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
Baca Juga:
Barantin Sulawesi Utara Musnahkan 144 Ekor Ayam Tanpa Dokumen Karantina Resmi
Ressa bahkan kerap beradu argumen dengan Duterte yang menganggap Rappler sebagai media penyebar hoaks.
"Maria Ressa menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme yang berkembang di negara asalnya, Filipina," kata Komite Hadiah Nobel Norwegia, dalam jumpa pers.
Ressa dan sejumlah temannya mendirikan Rappler, media digital yang fokus pada jurnalisme investigasi, pada 2012.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Sejak itu, ia duduk menjadi CEO Rappler.
Di bawah kepemimpinan Ressa, Rappler vokal mengungkap ketidakberesan rezim Duterte, terutama terkait kampanye anti-narkobanya yang dinilai banyak pihak sarat pelanggaran hak asasi manusia.
Duterte memberikan kewenangan kepada aparat keamanan Filipina, terutama polisi, untuk meluncurkan penangkapan besar-besaran terhadap para pengedar dan pengguna narkoba.
Duterte bahkan memberi kewenangan polisi untuk membunuh setiap anggota kriminal dan pengguna obat-obatan terlarang.
Hingga kini, operasi antinarkobanya itu disebut telah menghilangkan nyawa ribuan warga sipil antara 2016-2019 yang sebagian besar tanpa melalui proses peradilan jelas.
Akibat sorotan medianya, Ressa dan Rappler tak jarang menjadi target ancaman.
Duterte bahkan pernah secara langsung mengatakan bahwa Rappler merupakan media boneka yang "sepenuhnya milik" Amerika Serikat.
Dibawah kepemimpinan Ressa, Rappler juga menjadi subjek investigasi aparat Filipina hingga akhirnya pemerintahan Duterte sempat mencabut izin media tersebut pada 2018.
Pada 2020, perempuan 58 tahun itu juga ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.
Banyak pihak, terutama aktivis HAM, menganggap vonis terhadap Ressa itu sebagai ancaman atas kebebasan berekspresi di Filipina.
"Sebagai jurnalis dan CEO Rappler, Ressa telah menunjukkan dirinya sebagai pembela kebebasan berekspresi yang tak kenal takut. Rappler telah memusatkan perhatian kritis pada kampanye anti-narkoba yang kontroversial dan mematikan dari rezim Duterte," kata Komite Nobel Norwegia.
Komite Nobel menganggap perang anti-Narkoba Duterte sebagai perang yang dilancarkan pemerintah terhadap penduduk sendiri.
"Ressa dan Rappler juga telah mendokumentasikan bagaimana media sosial digunakan untuk menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan, dan memanipulasi wacana publik," papar komite tersebut menambahkan.
Sebelum mendirikan Rappler, Ressa bekerja sebagai pemimpin reporter investigasi CNN untuk kawasan Asia Tenggara.
Selain CNN, Ressa juga pernah memimpin divisi pemberitaan di ABS-CBN dan menulis untuk The Wall Street Journal.
Sebelum Hadiah Nobel Perdamaian, Ressa juga telah menyabet sederet penghargaan, di antaranya masuk dalam 100 orang berpengaruh pada 2018 dan 2019 versi Majalah Time, penghargaan jurnalistik dari Colombia University Graduate School of Journalism, 100 Perempuan berpengaruh versi BBC pada 2019, hingga Guillermo Cano World Press Freedom Prize dari UNESCO pada April 2021.
"Dunia tanpa fakta berarti dunia tanpa kebenaran dan kepercayaan," kata Ressa, usai mengetahui dirinya mendapat Hadiah Nobel Perdamaian, seperti dikutip AFP.
Ressa mengaku terkejut atas penghargaan tersebut dan menegaskan bahwa dia dan medianya "akan terus melakukan apa yang telah kami lakukan saat ini". [qnt]