WahanaNews.co | Yakutsk, merupakan salah satu kota di Siberia, Rusia, yang dikenal sebagai kota terdingin di dunia.
Memasuki musim dingin, suhu di kota ini bisa turun hingga berkisar sekitar -40 derajat Celsius.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Suhu yang bisa membekukan badan ini setidaknya harus dirasakan oleh penduduk Yakutsk selama 3 bulan penuh setiap tahunnya.
Dikutip dari National Geographic, sebenarnya tidak hanya Yakutsk yang mengalami musim dingin sangat ekstrem.
Salah satunya adalah pemukiman di Oymaykon yang terletak 575 mil ke timur Yakutsk, di mana musim dingin bisa mencapai -88 derajat Fahrenheit atau -66,67 derajat Celsius.
Baca Juga:
Pacar Rahasia Diminta Bujuk Presiden Putin Sudahi Perang di Ukraina
Selain Oymaykon yang hanya dihuni oleh 500 orang saja ini, ada pula Antarktika, di mana suhu rata-rata di musim dingin bisa turun hingga -76 derajat Fahrenheit atau -60 derajat Celsius.
Penduduk dan kekayaan alam di Yakutsk
Dibandingkan Oymaykon dan Antarktika, populasi penduduk di Yakutsk jauh lebih banyak. Ini berarti, daerah ini masih berfungsi penuh sebagai sebuah kota.
Menurut laporan Yakutsk dihuni oleh lebih dari 280.000 orang. Di mana masing-masing warganya tinggal di rumah yang dibangun di atas panggung.
Bentuk rumah sengaja dibuat panggung agar bentuk bangunan tak merusak kondisi tanah di bawahnya yang membeku permanen jika tiba di musim dingin.
Jika tidak dibentuk panggung, panas dari bangunan akan mencairkan lapisan es di bawahnya dan menyebabkan struktur rumah tenggelam.
Dikutip dari Mentalfloss (29/1/2018), penduduk Yakutsk selalu bermantel bulu tebal sepanjang hari.
Di sana setiap orang tak berani memakai kacamata, karena alat bantu penglihatan bisa membeku dan menempel di wajah mereka.
Meski menjadi kota terdingin di dunia, namun Yakutsk memiliki semua fitur kota menengah lainnya seperti akses ke bioskop, restoran, dan sistem transportasi umum yang berfungsi sepanjang tahun.
Menariknya, Yakutsk kaya akan hasil alam bawah tanah, meski cuaca yang ada di sini menjadi tantangannya.
Tambang lokal menyumbang sekitar seperlima dari produksi berlian dunia. Sementara situs lain mengungkapkan bahwa Yakutsk menyimpan gas alam, minyak, emas, perak, dan mineral lain yang dicari.
Seorang fotografer yang besar di Pegunungan Alpen Swiss, Steeve Luncker, memutuskan untuk menyaksikan secara langsung bagaimana suhu glasial mempengaruhi tubuh, jiwa, dan kehidupan sosial di Yakutsk.
Eksplorasi ini dilakoninya pada 2013. Sebelum merapat ke Yakutsk, Luncker menyiapkan perbekalan dan peralatan untuk bertahan hidup di kota tersebut seperti topi, sarung tangan, syal, sepatu bot, dan lainnya.
Meski dibesarkan dalam lingkungan dingin Swiss, namun Luncker dalam keseharian hidup di suhu sekitar 25 derajat Fahrenheit atau sekitar -3,89 derajat Celsius, jauh lebih hangat daripada Yakutsk.
Setibanya di Yakutsk, Luncker merencanakan agenda harian dengan cermat agar tidak membuang-buang waktu. Bahkan dia pun tidak sempat berjalan-jalan dan berbelanja cinderamata layaknya turis kebanyakan.
"Di sini suhu dingin menentukan segalanya. Atau lebih tepatnya, cara tubuh bereaksi terhadap suhu dingin adalah yang menentukan tindakanmu," ujar Luncker.
Luncker memperhatikan bahwa penduduk setempat cenderung sering mengunjungi satu sama lain, tetapi hanya untuk beberapa menit saja.
“Mereka akan masuk, melepas lapisan pertama pakaian, minum teh panas, dan bersulang sebelum membungkus badan lagi dan melangkah keluar. Seolah-olah tempat tinggal tetangga mereka difungsikan sebagai titik estafet sepanjang perjalanan mereka,” lanjut dia.
Ketika hendak mengabadikan momen dengan memotret beberapa objek, Luncker tidak bisa menangkap objek dengan jelas karena tidak ada orang yang berlama-lama di luar bangunan.
Suasana di Yakutsk digambarkan memiliki kabut yang tebal, suhunya sangat dingin, dan menutupi sebagian besar landmark.
Menurut Luncker, kondisi itu cenderung berbahaya karena seseorang bisa tersesat. "Sangat mudah tersesat ketika Anda tidak dapat melihat suatu objek sejauh 10 meter di depan Anda, dan ketika setiap jalan menyerupai jalan berikutnya," ujar Luncker.
Setelah bereksplorasi selama 10 hari, Luncker menyatakan bahwa orang-orang di Siberia pun sama-sama bisa merasakan kedinginan layaknya manusia lain, hanya saja mereka jauh lebih siap dalam menjalaninya. [qnt]