WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dalam lanskap geopolitik yang semakin rentan, sebuah insiden udara kembali memperkeruh hubungan militer antara Amerika Serikat (AS) dan China di kawasan Indo-Pasifik.
Kali ini, ketegangan tersulut oleh pertemuan jarak dekat antara jet tempur berbasis kapal induk China dan pesawat tempur milik Angkatan Laut AS.
Baca Juga:
China Uji Bom Hidrogen Superpanas, Bola Api Bertahan 15 Kali Lebih Lama dari TNT
Media pemerintah China, China Central Television (CCTV), merilis rekaman yang memperlihatkan interaksi berisiko tinggi tersebut.
Rekaman ditayangkan pada 11 April dalam dokumenter yang mengulas operasi armada kapal induk Negeri Tirai Bambu.
Dalam tayangan itu, sebuah jet tempur J-15 tampak terbang sangat dekat dengan sebuah pesawat tempur lain yang berada di sisi kiri depannya.
Baca Juga:
China Siap-siap Hantam Negara yang Kompak dengan AS, Begini Ancamannya
Para pengamat militer China mengidentifikasi pesawat tersebut sebagai F/A-18 Super Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat berdasarkan bentuk dan karakteristik desainnya.
Meski lokasi kejadian tidak disebutkan secara eksplisit, kawasan perairan sengketa di Indo-Pasifik diyakini menjadi latar tempat insiden.
Wilayah ini memang selama ini menjadi titik panas tarik menarik kekuatan antara dua negara adidaya.
Pihak Angkatan Laut AS sendiri enggan memberikan konfirmasi spesifik. Dalam pernyataannya kepada Newsweek pada Rabu (23/4/2025), juru bicara Armada Pasifik menyampaikan, “Kami tidak mengomentari operasi, pertemuan, atau pelatihan spesifik, tetapi kami secara rutin beroperasi di sekitar pesawat dan kapal asing di perairan dan wilayah udara internasional di Indo-Pasifik.”
Dokumenter CCTV menyebut bahwa insiden ini terjadi saat kapal induk China tengah melaksanakan latihan laut yang mereka sebut sebagai "pelatihan samudra lepas."
Salah satu pengamat militer China menyatakan bahwa jet tempur J-15 dikerahkan secara khusus untuk “mencegat dan mengusir” pesawat tempur AS yang dianggap mendekati area latihan militer China.
Jet tempur F/A-18 Super Hornet yang terlibat dalam insiden ini merupakan tulang punggung kekuatan udara kapal induk Amerika Serikat.
Pesawat tersebut memiliki dua varian utama: varian E dengan satu kursi dan varian F dengan dua kursi, serta dirancang untuk menjalankan beragam misi mulai dari pengawalan udara hingga interdiksi.
Menurut laporan Pentagon mengenai kekuatan militer China, kapal induk kedua milik China, CNS Shandong, telah melakukan tiga latihan laut lepas (far-seas training events) di Laut Filipina sepanjang tahun 2023.
Kawasan ini juga merupakan salah satu titik operasi utama kapal induk milik AS dalam strategi penempatannya di Samudra Pasifik bagian barat.
Laut Filipina sendiri berada di antara dua rantai pulau penting yang membentuk jalur pertahanan maritim strategis.
Jalur ini merupakan bagian dari kebijakan containment Amerika Serikat untuk membatasi ekspansi militer China menuju Pasifik terbuka.
Namun, laporan Pentagon juga mencatat adanya penurunan jumlah intersepsi udara yang dilakukan secara koersif oleh militer China sejak akhir 2023.
Dibandingkan dua tahun sebelumnya, Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) disebut lebih jarang melakukan aksi udara agresif yang dapat memicu risiko tinggi, terutama di Laut China Timur dan Selatan.
Meski begitu, Angkatan Laut AS tetap menyuarakan komitmennya untuk menjaga prinsip-prinsip kebebasan navigasi dan penerbangan.
“Angkatan Laut AS berkomitmen untuk menegakkan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, bersama sekutu dan mitra kami, di mana semua negara besar maupun kecil memiliki kebebasan untuk berlayar dan terbang sesuai dengan hukum internasional,” tegas juru bicara Armada Pasifik.
Sebagai catatan, kapal induk pertama China, CNS Liaoning, juga sempat terpantau pada September tahun lalu berada sekitar 900 kilometer dari Guam -- wilayah AS yang menjadi pusat militer strategis di Pasifik.
Pertemuan udara antara dua jet tempur dari dua kekuatan besar dunia ini menambah panjang daftar interaksi militer yang berlangsung dengan tensi tinggi.
Walaupun tidak mengarah pada bentrokan fisik, namun insiden semacam ini tetap menjadi sumber kekhawatiran akan potensi salah kalkulasi yang bisa menyulut konflik terbuka di wilayah Indo-Pasifik yang sangat strategis.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]