WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan intelijen Austria merilis laporan mengejutkan yang menyebut Iran sedang mengembangkan senjata nuklir yang dapat diluncurkan melalui rudal jarak jauh.
Pernyataan ini bertentangan langsung dengan penilaian resmi komunitas intelijen Amerika Serikat.
Baca Juga:
Di Ambang Konflik Nuklir, AS Siapkan Diego Garcia Tak Jauh dari Indonesia
“Untuk menegaskan dan menegakkan ambisi kekuatan politik regionalnya, Republik Islam Iran tengah berupaya keras untuk mempersenjatai kembali secara menyeluruh,” bunyi laporan Kantor Federal Austria untuk Perlindungan Konstitusi, badan intelijen domestik negara tersebut.
Laporan itu menambahkan bahwa Iran mengincar senjata nuklir untuk membuat rezimnya kebal terhadap serangan, sekaligus memperluas dan mengonsolidasikan dominasinya di Timur Tengah dan sekitarnya.
Laporan setebal 211 halaman itu menyatakan bahwa program senjata nuklir Iran telah mencapai tahap lanjut. Iran disebut memiliki persenjataan rudal balistik yang terus berkembang dan mampu membawa hulu ledak nuklir untuk serangan jarak jauh.
Baca Juga:
Iran Gantung Warganya yang Dituduh Mata-mata Mossad dan Terlibat Pembunuhan Kolonel
Selain itu, laporan tersebut menyebut Kedutaan Besar Iran di Wina sebagai salah satu yang terbesar di Eropa dan menuduhnya menyembunyikan agen intelijen di balik status diplomatik.
“Badan intelijen Iran terbiasa mengembangkan dan menerapkan strategi penghindaran untuk pengadaan peralatan militer, teknologi yang peka terhadap proliferasi, dan bahan untuk senjata pemusnah massal,” ungkap laporan itu.
Nama Iran disebutkan sebanyak 99 kali dalam dokumen tersebut. Laporan itu juga menyinggung kasus vonis tahun 2021 terhadap Asadollah Asadi, mantan diplomat Iran di Wina, yang dihukum karena terlibat rencana pengeboman demonstrasi oposisi di luar Paris pada 2018.
Aksi tersebut dihadiri oleh ribuan pembangkang Iran, termasuk Rudy Giuliani, pengacara pribadi Presiden AS Donald Trump saat itu.
Namun, temuan Austria ini kontras dengan pernyataan resmi intelijen AS.
Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, dalam sidang Komite Intelijen Senat pada Maret lalu menyatakan bahwa intelijen AS masih berpendapat Iran tidak sedang membangun senjata nuklir.
“Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei belum mengesahkan program senjata nuklir yang ditangguhkannya pada tahun 2003,” ujar Gabbard.
Laporan Austria juga menyebut Iran telah membangun jaringan penghindaran sanksi yang canggih dan disebut turut menguntungkan Rusia.
Temuan ini berpotensi memperumit kebijakan luar negeri Presiden Trump, yang sebelumnya menyampaikan keinginannya untuk membuka kembali negosiasi dengan Teheran terkait program nuklirnya.
Menanggapi laporan tersebut, seorang pejabat Gedung Putih mengatakan kepada Fox News, “Presiden Trump berkomitmen agar Iran tidak pernah memperoleh senjata nuklir atau kapasitas untuk membangunnya.”
Sebelumnya, pada 2023, intelijen Eropa juga mengungkap bahwa Iran terus berupaya mendapatkan teknologi penting bagi program nuklirnya, bahkan setelah penandatanganan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) pada 2015.
Selain isu nuklir, laporan Austria menyoroti dukungan Iran terhadap kelompok milisi seperti Hamas, Hizbullah, dan pasukan proksi di Suriah, yang semuanya telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Amerika Serikat.
Iran sendiri secara konsisten membantah sedang mengembangkan senjata nuklir, dan menyatakan bahwa seluruh program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]