WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan militer di Asia Selatan kembali mencapai titik didih. Tiga jet tempur Rafale milik Angkatan Udara India dilaporkan berhasil ditembak jatuh oleh pesawat tempur J-10 buatan China yang dioperasikan Pakistan.
Insiden udara yang terjadi di wilayah perbatasan ini bukan hanya mencoreng kehormatan pertahanan India, tetapi juga mengguncang pasar keuangan global.
Baca Juga:
Perang India-Pakistan Meletus, Ekspor Batu Bara RI Terancam Anjlok
Tak lama setelah kabar tersebut mencuat, saham perusahaan pembuat Rafale, Dassault Aviation S.A., langsung terjun bebas. Berdasarkan data dari Investing.com, nilai saham perusahaan Prancis itu ambles hingga 7,60% pada hari ini, mencerminkan tekanan serius terhadap reputasi dan kepercayaan investor.
Pertarungan Dua Raksasa Udara: J-10 vs Rafale
Insiden ini juga memicu perdebatan sengit di kalangan militer dan pengamat pertahanan mengenai keunggulan teknis antara dua jet tempur dari dua kubu dunia: Tiongkok dan Prancis.
Baca Juga:
Monster Udara Buatan Prancis Milik India Ini Punya Jangkauan 3.700 Km, Tapi Tetap Rontok!
Chengdu J-10, pesawat tempur multi-peran buatan China, dikembangkan oleh Chengdu Aircraft Industry Co. dan menjadi ujung tombak Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF). Sementara itu, Dassault Rafale adalah pesawat tempur generasi 4.5 bermesin ganda yang dirancang untuk berbagai misi, dari superioritas udara hingga serangan nuklir.
“Dalam konteks peperangan modern, efisiensi dan kemampuan bertahan hidup di udara tidak hanya ditentukan oleh kecepatan, tapi juga kemampuan avionik dan manuver strategis,” ujar Pierre Langlois, analis dirgantara dari Defence Analytics Group.
Dimensi, Kecepatan, dan Kapasitas: Mana yang Unggul?
J-10 memiliki panjang badan 16,4 meter, sedikit lebih jenjang dibanding Rafale, namun dengan bentang sayap lebih sempit (9,75 meter vs 10,9 meter). Dari sisi bobot, J-10 lebih ringan, dengan berat maksimum saat lepas landas hanya 19,2 ton, sementara Rafale mampu mengangkat hingga 24,5 ton—mencerminkan keunggulan daya angkut dan kapasitas bahan bakar.
Soal kecepatan, J-10 bisa melaju hingga 2.200 km/jam, hampir setara dengan kecepatan maksimal Rafale di Mach 1.8 (sekitar 2.205 km/jam). Namun perbedaan besar muncul pada kemampuan misi: Rafale menawarkan fleksibilitas luar biasa dengan 14 hardpoint senjata dan kapasitas muatan eksternal hingga 9,5 ton. Dua mesinnya memberikan dorongan yang lebih stabil dan daya tahan tinggi di segala medan.
Sebaliknya, J-10 hanya mengandalkan satu mesin, namun tampil lincah, lebih ringan, dan hemat bahan bakar.
Karakteristik ini menjadikannya pilihan ideal untuk pertempuran udara cepat dan manuver taktis di kawasan yang lebih sempit.
Sistem Avionik dan Kecanggihan Sensor
Kedua jet ini sama-sama dipersenjatai dengan teknologi avionik mutakhir. J-10 dilengkapi radar phased array, sensor infra-merah, serta sistem pelacakan target berbasis laser.
Rafale tak kalah tangguh, mengandalkan radar AESA canggih, sistem peperangan elektronik, serta kemampuan menjalankan misi multi-dimensi dari darat, laut, hingga udara.
“Rafale memang unggul dalam hal misi kompleks dan integrasi senjata. Namun J-10 menunjukkan bahwa teknologi tempur China telah menembus batas-batas lama dan layak diperhitungkan di medan nyata,” kata Thomas Ehrlich, pakar militer dari European Defense Watch.
Efektivitas Berdasarkan Strategi
Kesimpulannya, Rafale tetap unggul dalam fleksibilitas misi dan kestabilan manuver, cocok untuk perang berkepanjangan dan berbasis platform multinasional.
Namun, J-10 membuktikan dirinya sebagai pesawat tempur ringan yang efektif, lincah, dan mematikan jika digunakan dalam strategi pertahanan yang tepat.
Kedua pesawat ini bukan hanya representasi teknologi, tetapi juga simbol dari dua kekuatan dunia yang tengah bertarung merebut dominasi langit di Asia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]