WahanaNews.co, Jakarta - Junta militer yang mengambil alih kekuasaan di Niger mengusir duta besar Prancis untuk negara itu usai gonjang-ganjing pascakudeta pada 26 Juli lalu.
Kementerian Luar Negeri Niger menyatakan Duta Besar Sylvain Itte harus angkat kaki dari negara tersebut dalam waktu 48 jam sejak perintah dirilis pada Jumat (25/08/23).
Baca Juga:
Cerita CEO Telegram Pavel Durov Diduga Miliki Empat Paspor
Kemlu Niger menyatakan pihak berwenang mencabut kredensial Itte setelah dubes itu karena sederet alasan, salah satunya lantaran Itte menolak pertemuan yang dijadwalkan digelar pada Jumat.
Selain itu, Kemlu Niger juga mencabut surat kredensia lItte karena "tindakan-tindakan lain pemerintah Prancis yang bertolak belakang dengan kepentingan Niger."
Meski demikian, Kemlu Prancis menyatakan mereka sudah menerima informasi itu dari Niger, tapi mereka tak akan memenuhi permintaan tersebut.
Baca Juga:
Turut Meriahkan Pra Olimpiade Paris 2024, PLN Hadirkan Reog Ponorogo di Acara Exhibition Pencak Silat
"Mereka tak punya kewenangan untuk membuat perintah ini, dan penerimaan terhadap duta besar datang hanya dari pihak berwenang yang terpilih," demikian pernyataan Kemlu Prancis, sebagaimana dilansir CNN.
Kisruh pengusiran ini terjadi setelah serangkaian demonstrasi menolak Prancis merebak di Niger setelah kudeta yang melengserkan Presiden Mohamed Bazoum pada Juli lalu.
Militer Niger menuding Prancis berniat melakukan intervensi militer di Niger demi mengembalikan kekuasaan ke tangan Bazoum.
Mereka juga menuding menyinggung ECOWAS, blok negara-negara Afrika Barat yang mengancam bakal menginvasi jika pemerintahan tak kembali ke tangan Bazoum.
Menurut Niger, ECOWAS merupakan organisasi yang menjadi alat bagi Prancis, mantan penjajah di kawasan tersebut.
Selain mengancam bakal mengintervensi, ECOWAS juga menjatuhkan serangkaian sanksi ekonomi terhadap Niger.
Saat ini, sekitar 1.500 tentara Prancis sendiri masih berpangkalan di Niger untuk membantu menumpas kelompok-kelompok jihadi yang masih terus membayangi negara itu dan kawasan Sahel.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]