WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sebanyak 15 negara di Eropa mengalami kekurangan tenaga kerja yang semakin parah sejak tahun 2024.
Meskipun pasar tenaga kerja Uni Eropa tetap kuat sepanjang 2022—dengan tingkat ketenagakerjaan mencapai rekor 74,6% dan jumlah pekerja mencapai 213,7 juta orang—tantangan serius mulai muncul.
Baca Juga:
Instruksi Tegas Presiden Prabowo: Tak Ada PHK di Sritex Meski Dinyatakan Pailit!
Tingkat pengangguran turun ke level terendah 6,2%, sementara pengangguran kaum muda menyusut menjadi 14,5%.
Namun, di balik angka-angka positif tersebut, Eropa menghadapi defisit tenaga kerja di berbagai sektor dan tingkat keterampilan.
Krisis ini paling terasa di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika), perawatan kesehatan, serta konstruksi.
Baca Juga:
Bupati Sleman Resmikan 10 Kegiatan Padat Karya di Padukuhan Kaliduren 1
Populasi usia kerja terus menurun, dari 272 juta pada 2009 menjadi 258 juta yang diproyeksikan pada 2030.
Faktor utama yang memperparah kondisi ini adalah populasi yang menua, yang berakibat pada berkurangnya angkatan kerja di banyak negara.
Laporan Kekurangan Tenaga Kerja 2024 mencatat 15 negara Eropa yang paling terdampak:
• Jerman: Sebagai ekonomi terbesar di Eropa, Jerman menghadapi krisis tenaga kerja di sektor manufaktur, perhotelan, dan layanan kesehatan akibat rendahnya angka kelahiran dan tingginya populasi lansia.
• Inggris Raya: Pasca-Brexit, kebijakan imigrasi yang lebih ketat menyebabkan kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian, kesehatan, dan konstruksi. Selain itu, ketidaksesuaian keterampilan memperburuk situasi.
• Prancis: Industri perhotelan dan manufaktur mengalami krisis tenaga kerja, diperburuk oleh ketegangan sosial seperti gerakan "rompi kuning".
• Spanyol: Meskipun tingkat pengangguran masih tinggi, banyak sektor tetap kekurangan pekerja akibat ketidaksesuaian keterampilan dan populasi yang menua.
• Italia: Sektor kesehatan, teknik, dan teknologi mengalami kelangkaan tenaga kerja, diperparah oleh tingginya migrasi tenaga kerja ke negara-negara Uni Eropa lainnya.
• Polandia: Ekonomi yang berkembang pesat membuat Polandia kekurangan tenaga kerja di sektor manufaktur dan konstruksi, sebagian besar akibat emigrasi tenaga kerja ke negara-negara lain di Uni Eropa.
• Belanda: Kekurangan tenaga kerja sangat terasa di sektor perawatan kesehatan dan pendidikan.
• Belgia: Sektor teknik dan teknologi informasi (TI) mengalami defisit pekerja yang signifikan, diperburuk oleh populasi yang semakin menua.
• Swedia: Meskipun memiliki standar hidup tinggi, sektor kesehatan dan teknologi di Swedia tetap menghadapi kesulitan dalam merekrut tenaga kerja.
• Norwegia: Sektor minyak dan gas, perawatan kesehatan, serta konstruksi mengalami kekurangan pekerja meski kondisi kerja di negara ini sangat menarik.
• Finlandia: Industri perhotelan dan layanan kesehatan mengalami kekurangan tenaga kerja besar, mendorong pemerintah meningkatkan kebijakan imigrasi tenaga kerja.
• Austria: Pertumbuhan ekonomi yang pesat membuat Austria kekurangan tenaga kerja di bidang perdagangan terampil.
• Republik Ceko: Sektor TI dan perhotelan menghadapi defisit tenaga kerja yang berdampak pada hasil industri.
• Denmark: Sektor konstruksi, teknologi, dan kesehatan mengalami kesulitan dalam merekrut tenaga kerja berkualitas.
• Irlandia: Dengan perekonomian yang sedang berkembang, Irlandia membutuhkan lebih banyak tenaga kerja terampil di sektor konstruksi dan layanan kesehatan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya.
Faktor Penyebab Krisis Tenaga Kerja di Eropa
Beberapa faktor utama yang memicu krisis tenaga kerja di Eropa antara lain:
• Populasi yang Menua: Berkurangnya angkatan kerja akibat tingginya jumlah penduduk lansia di berbagai negara.
• Ketidaksesuaian Keterampilan: Banyak pekerja tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri, terutama di sektor teknologi dan konstruksi.
• Pola Migrasi: Pembatasan imigrasi dan dampak Brexit memperburuk kekurangan tenaga kerja di sejumlah negara.
• Keterbatasan Sistem Pendidikan: Beberapa negara mengalami kesenjangan keterampilan kejuruan dan teknis akibat sistem pendidikan yang tidak selaras dengan kebutuhan pasar kerja.
Krisis tenaga kerja ini membuka peluang bagi tenaga kerja terampil dari luar Eropa untuk mengisi kekosongan di berbagai sektor.
Dengan tingginya permintaan tenaga kerja, peluang bekerja di Eropa semakin terbuka bagi pekerja asing yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan industri.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]