WahanaNews.co | Ribuan warga Thailand
melanjutkan aksi unjuk rasanya di Bangkok, tanpa mengindahkan dekrit darurat,
di tengah langkah pemerintah negara itu memblok akses petisi online Change.org.
Petisi itu berisi seruan agar Raja Maha Vajiralongkorn ditetapkan
sebagai persona non grata di Jerman.
Baca Juga:
Fredy Pratama, Gembong Narkoba, Dicari Polisi di Hutan Thailand
Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran yang
sebagian besar terdiri dari aktivis muda yang mencoba memukul mundur dengan
payung-payung. Sebagian melemparkan botol plastik, dalam unjuk rasa yang
dilakukan di tengah larangan berkumpul.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha memperingatkan jam malam mungkin
akan diterapkan dan dia tetap menolak seruan untuk mundur.
Para pengunjuk rasa juga menuntut reformasi monarki Thailand
dengan membatasi kekuasaan raja.
Baca Juga:
Ini 5 Negara Tidak Pernah Dijajah, Ada Tetangga Indonesia
Kementerian perekonomian digital menyebutkan,
konten petisi di Change.org melanggar
aturan akta kejahatan komputer Thailand.
Raja Vajiralongkorn dikritik para pengunjuk rasa karena
menghabiskan lebih banyak waktu di Jerman sejak mulai bertahta pada 2016.
Petisi itu telah diisi oleh sekitar 130.000 penandatangan sebelum
diblok oleh pemerintah.
Langkah itu dilakukan di tengah protes pro-demokrasi terbesar
pertama dalam beberapa tahun terakhir.
Demi Masa Depan
Sekitar 2.000 orang pengunjuk rasa turun ke jalan di pusat kota
Bangkok pada Jumat (16/10/2020) malam, media
melaporkan.
Mereka membawa slogan bertuliskan "Bebaskan teman-teman
kita", merujuk pada lebih dari 40 orang yang ditangkap minggu ini.
Kerumunan dengan cepat bertambah, dari beberapa lusin, menjadi
ribuan, dipadati oleh komuter yang berhenti untuk bergabung dengan apa yang
sekarang menjadi mood pemberontakan
nasional dalam perjalanan pulang, lapor wartawan BBC,
Jonathan Head, di Bangkok. Paduan suara umpatan terdengar, ditujukan pada
perdana menteri.
Saat polisi mulai bergerak untuk membubarkan massa, para
demonstran meneriakkan, "Keluar, keluar!"
Polisi menggunakan meriam air. Beberapa pengunjuk rasa mengatakan
meriam air itu mengandung bahan kimia yang membuat mata mereka pedih - klaim
yang belum diverifikasi secara independen.
"Saya harus berjuang untuk masa depan saya," kata
seorang pengunjuk rasa berusia 22 tahun,
seperti dikutip oleh Reuters.
Sebagian besar pengunjuk rasa kemudian bubar. Beberapa orang yang
mencoba melawan, ditangkap.
Dekrit Darurat
Kamis (15/10/2020) lalu, pemerintah Thailand mengumumkan dekrit darurat untuk
menanggapi serangkaian protes yang berlangsung di Bangkok, termasuk dengan
melarang kerumunan orang lebih dari empat orang dan pembatasan media.
Sebuah pengumuman yang dibacakan oleh polisi dalam siaran televisi
menyatakan, "banyak kelompok-kelompok orang telah mengundang, menghasut
dan melakukan pertemuan di tempat-tempat umum yang melanggar hukum di Bangkok."
Dikatakan, langkah-langkah penting diperlukan untuk "menjaga perdamaian
dan ketertiban".
Pengumuman yang ditayangkan di televisi pemerintah itu mengatakan
pengunjuk rasa telah "memicu kekacauan dan keresahan publik".
Pengumuman itu menyebut bahwa pengunjuk rasa yang menghadang
iring-iringan kerajaan pada hari Rabu sebagai alasan keputusan tersebut.
Para pengunjuk rasa, yang didorong mundur oleh jajaran polisi,
melakukan salam tiga jari yang telah menjadi simbol gerakan protes saat ratu
berada di dalam kendaraan yang menelusuri Bangkok.
Keputusan darurat itu mulai berlaku pada pukul 04.00 waktu setempat, Kamis
(15/10/2020).
Namun tak lama setelah dekrit berlaku, demonstrasi kembali
terjadi. Polisi anti huru hara Thailand membubarkan pengunjuk rasa yang
berkumpul di luar kantor perdana menteri.
Sejumlah pengunjuk rasa mencoba melawan, menggunakan barikade
buatan, tetapi mereka didorong mundur, seperti yang dilaporkan kantor berita Reuters.
Ratusan polisi terlihat di jalanan-jalanan setelah pengunjuk rasa
dibubarkan.
Beberapa pengacara Thailand yang menaruh perhatian terhadap isu
hak asasi manusia mengatakan tiga pemimpin protes telah ditangkap. Polisi belum
mengomentari klaim ini.
Pembatasan
terhadap Media
Selain membatasi perkumpulan hingga maksimal empat orang,
keputusan tersebut membatasi media.
Yaitu, melarang "publikasi berita, media lain, dan informasi
elektronik yang berisi pesan yang dapat menimbulkan ketakutan atau sengaja
memutarbalikkan informasi, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang akan
memengaruhi keamanan atau perdamaian nasional dan ketertiban".
Keputusan itu juga memungkinkan pihak berwenang untuk menghentikan
orang-orang memasuki "daerah mana pun yang mereka tunjuk", menurut
laporan kantor berita Reuters.
Gerakan protes yang dipimpin oleh mahasiswa, yang dimulai pada
Juli dan terus berkembang, telah menjadi tantangan terbesar dalam beberapa
tahun terakhir bagi penguasa Thailand.
Serangkaian protes selama akhir pekan di ibu kota adalah beberapa
yang terbesar dalam beberapa tahun, dengan ribuan orang menentang pihak
berwenang untuk berkumpul dan menuntut perubahan.
Seruan para pengunjuk rasa untuk reformasi kerajaan sangat
sensitif di Thailand, di mana kritik terhadap monarki dapat dihukum dengan
hukuman penjara yang lama.
Thailand memiliki sejarah panjang soal kerusuhan politik dan
protes, tetapi sebuah gelombang baru dimulai pada Februari setelah pengadilan
memerintahkan partai oposisi pro-demokrasi yang masih baru terbentuk untuk
dibubarkan.
Future Forward Party(Partai Maju Masa Depan) telah terbukti sangat populer di
kalangan muda, pemilih pemula dan memperoleh bagian terbesar ketiga dari kursi
parlemen dalam pemilihan Maret 2019, yang dimenangkan oleh kepemimpinan militer
yang sedang menjabat.
Protes dihidupkan kembali pada bulan Juni ketika aktivis
pro-demokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia
berada di pengasingan sejak kudeta militer 2014.
Keberadaannya tetap tidak diketahui dan pengunjuk rasa menuduh
pemerintah Thailand mengatur penculikannya - sesuatu yang telah dibantah oleh
polisi dan pemerintah. Sejak Juli protes yang dipimpin mahasiswa secara rutin
terjadi.
Para pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Prayuth, mantan panglima angkatan darat yang merebut kekuasaan
dalam kudeta, dibubarkan; untuk konstitusi akan ditulis ulang; untuk pihak
berwenang berhenti melecehkan para kritikus.
Apa yang Terjadi Jelang Dekrit?
Sebelumnya, pengunjuk rasa prodemokrasi di Thailand
berhadap-hadapan dengan iring-iringan kendaraan yang membawa Maha
Vajiralongkorn dan permaisuri Ratu Suthida ketika rombongan melewati pawai umum
di ibu kota Thailand, Bangkok pada Rabu (14/10/2020).
Namun massa berhasil dipukul mundur oleh barisan kepolisian dan
tidak sampai menghentikan iring-iringan itu. Ketika raja lewat, mereka
mengangkat salam tiga jari yang telah menjadi simbol gerakan protes.
Mereka menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha
dan menuntut pembatasan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn.
Protes hari ini digelar bersamaan dengan kunjungan raja ke sebuah
upacara Buddha di Ratchadamnoen Avenue, tempat demonstrasi digelar.
Biasanya ia menghabiskan sebagian besar waktunya di Jerman dan
telah kembali dari negara itu.
Sebagian
pengunjuk rasa membentuk rantai manusia dalam aksi Rabu (14/10/2020). Raja
tampak duduk di mobil bersama permaisuri Ratu Suthida.
Mobil itu melewati massa yang meneriakkan yel-yel dan mengangkat
salam tiga jari. Salam tersebut diyakini terinspirasi oleh film-film Hunger Games, yang menggunakan salam itu
sebagai simbol persatuan dan penentangan.
Pengunjuk rasa sebelumnya berjanji tidak akan memblokir
iring-iringan yang membawa raja dan mereka terbukti menepati janji itu.
Kelompok pendukung raja juga menggelar demonstrasi tandingan untuk
menunjukkan dukungan kepada monarki.
Mengenakan baju kuning, warna yang digunakan kerajaan, mereka
melakukan unjuk rasa di kawasan yang sama dengan kelompok prodemokrasi, walau
berada di titik berbeda. Kedua kelompok dipisahkan oleh barisan polisi.
Beberapa pemrotes berbaju kuning terekam menyerang pengunjuk rasa
prodemokrasi. Menurut sejumlah saksi mata, pemerintah menyamarkan polisi
sebagai pengunjuk rasa pendukung raja.
"Kami ingin menunjukkan bahwa kami mencintai raja," kata
Sirilak Kasemsawat kepada kantor berita AFP.
Ia menuduh gerakan prodemokrasi hendak "menggulingkan"
monarki, tuduhan yang selalu ditepis oleh kelompok prodemokrasi.
"Kami tidak meminta mereka dilengserkan, dilupakan atau tidak
dihormati," kata Dear Thatcha, seorang peserta unjuk rasa dari kelompok
prodemokrasi.
"Kami meminta mereka berubah bersama kami. Negara kita perlu
menyesuaikan diri dengan banya hal, dan monarki adalah salah satu isu yang juga
perlu disesuaikan," tambahnya.
Seruan reformasi di tubuh kerajaan merupakan isu sangat sensitif
di Thailand, dan mereka yang mengkritik monarki dapat dihukum penjara yang
lama.
Selama beberapa bulan terakhir, protes digelar untuk menyerukan
pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang mengambil alih
kekuasaan dalam kudeta 2014 dan memenangkan pemilu tahun lalu meskipun hasilnya
disengketakan.
Sebagian warga juga mendesak reformasi monarki, meskipun seruan
tersebut dapat diperkarakan berdasarkan undang-undang pencemaran nama baik
kerajaan yang ketat di Thailand. [qnt]