WahanaNews.co | Siasat Amerika Serikat (AS) di Indo-Pasifik bersama sekutunya untuk membendung kekuatan China melalui pendekatan militer dianggap tak selaras dengan jurus negara-negara Uni Eropa.
Terlebih, siasat Negeri Paman Sam itu diawali dengan upaya yang melukai salah satu anggota Uni Eropa: Prancis.
Baca Juga:
Australia Mau Larang Anak di Bawah 16 Tahun Main Medsos, Ini Alasannya
Meski sempat optimistis dengan Presiden AS, Joe Biden, kekhawatiran Uni Eropa "ditinggal" AS kini kian kuat.
Mereka kecewa ketika AS memutuskan untuk menjalin kerjasama kapal selam dengan Inggris dan Australia, tanpa sepengetahuan Prancis.
The Washington Post mencatat, kekhawatiran ini sebenarnya sudah muncul sejak 2011, ketika Presiden Barack Obama mengumumkan bahwa AS bakal mengalihkan fokusnya ke Indo Pasifik.
Baca Juga:
Program CSR Akar Basah PEP Tarakan Field Dapat Perhatian APOGCE 2024
Ketika tampuk pemerintahan bergulir ke tangan Presiden Donald Trump, sikap AS terhadap Uni Eropa kian kentara.
Pada 2018, Trump melontarkan pernyataan yang sangat kontroversial.
"Saya pikir, kami punya banyak musuh. Saya rasa Uni Eropa adalah musuh, terkait dengan apa yang mereka lakukan terhadap kami dalam perdagangan," ucap Trump, kala itu.
Kala itu, Trump juga mendukung Inggris untuk keluar dari Uni Eropa alias Brexit.
Uni Eropa melihat AS semakin bergerak menjauh dari bloknya.
Kini, Uni Eropa pun berang karena AS menggandeng Inggris untuk menjalin kerjasama kapal selam bertenaga nuklir dengan Australia di bawah perjanjian AUKUS.
Tujuan utama mereka memang membendung kekuatan China di kawasan.
Namun, ternyata, kesepakatan itu melukai Prancis yang merasa dikhianati.
Pasalnya, sebelum AUKUS disepakati, Australia menangguhkan perjanjian kerjasama kapal selam dengan Prancis.
Dalam tulisannya di The Washington Post, seorang pakar politik Amerika dari Princeton University, Sophie Meunier, mengatakan bahwa kesepakatan AUKUS ini mencabik kepercayaan Prancis.
"Banyak pihak di Prancis melihat kesepakatan kapal selam AUKUS sebagai konfirmasi bahwa AS memang tak lagi dapat dipercaya, bahkan setelah era Trump," tulis Meunier.
Prancis sebenarnya sempat optimistis ketika Biden dilantik sebagai presiden AS.
Saat itu, survei lembaga Pew mengindikasikan kenaikan penerimaan publik Prancis terhadap AS hingga 34 poin.
Para diplomat Prancis bahkan sudah sempat ingin menjalin kerjasama erat dengan AS dalam perkara perubahan iklim hingga terorisme, juga ancaman China.
"Namun, ternyata, mereka malah melihat Amerika mengambil keputusan sepihak tanpa konsultasi. Keputusan unilateral ini mungkin dapat membangkitkan kembali sentimen anti-Amerika di Prancis dan sekitarnya," tulis Meunier.
Lebih jauh, Luke McGee, dalam analisisnya di CNN, menyatakan bahwa kesepakatan AS ini membuat Eropa kebingungan dengan pendekatan mereka ke China.
Sebelum kesepakatan AUKUS tercapai, Uni Eropa sebenarnya ingin melawan China dengan strategi berbeda, yaitu lebih persuasif.
"Jika ingin melihat sisi baiknya, [tindakan AS] ini mungkin hanya dianggap kasar, tapi yang buruk, tindakan ini mengonfirmasi bahwa mereka tak dianggap serius sebagai pemain geopolitik, meski ambisi global mereka sangat besar," tulis McGee.
Sejumlah pengamat menganggap sikap AS ini menunjukkan bahwa Uni Eropa memang belum terlalu diperhitungkan di panggung dunia.
Direktur Institut Austria untuk Kebijakan Eropa dan Keamanan, Velina Tchakarova, juga mengamini anggapan ini, karena AS lebih memilih bekerja sama dengan Inggris, yang baru saja keluar dari Uni Eropa.
"Kenyataan bahwa AS lebih ingin menghabiskan modal politik dan investasi keamanan juga hubungan pertahanan dengan Inggris dan Australia sebelum menghubungi Uni Eropa sangat menunjukkan sikap [AS] itu," ucap Velina Tchakarova.
Tchakarova menganggap, seharusnya Uni Eropa lah yang bekerja lebih keras membawa pengaruh di kawasan agar bisa diperhitungkan di panggung dunia.
"Jelas bahwa Uni Eropa harus menjadi aktor keamanan di Indo-Pasifik terlebih dulu agar dapat dianggap serius oleh rekan-rekan mereka di Anglosphere," katanya. [dhn]