WAHANANEWS.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, memuji visi pragmatis Presiden AS, Donald Trump, dalam upayanya mengakhiri perang di Ukraina. Namun, ia menuding negara-negara Eropa yang mendukung Kyiv justru berusaha memperpanjang konflik.
Dalam pernyataannya pada Minggu (2/3/2025), Lavrov menegaskan bahwa meskipun Washington dan Moskow memiliki banyak perbedaan, keduanya tetap dapat bersikap pragmatis dalam menghadapi kepentingan yang saling bertentangan.
Baca Juga:
Kekurangan Tenaga Kerja di Eropa Makin Parah, 15 Negara Ini Paling Terdampak
Diplomat senior yang telah menjabat selama 21 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin itu menyebut bahwa hubungan AS dan China dapat dijadikan model bagi Rusia dan AS, di mana kedua negara bisa bekerja sama untuk kepentingan bersama tanpa membiarkan perbedaan berubah menjadi konfrontasi bersenjata.
"Donald Trump adalah seorang pragmatis," ujar Lavrov dalam wawancara dengan surat kabar militer Rusia, Krasnaya Zvezda, sebagaimana dikutip dalam transkrip yang dirilis Kementerian Luar Negeri Rusia.
"Slogannya adalah akal sehat. Ini berarti, seperti yang bisa kita lihat, ada perubahan dalam cara mengambil kebijakan."
Baca Juga:
Tanpa Eropa Tak Ada Perdamaian, Para Menlu Sepakat Hadapi Rusia
Meski demikian, Lavrov menegaskan bahwa Trump tetap berpegang pada prinsip Make America Great Again (MAGA).
"Pendekatan ini memberikan karakter yang lebih manusiawi dalam politik. Itu sebabnya bekerja dengannya menjadi menarik," lanjutnya.
Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada 2022 dengan mengerahkan ribuan pasukan, menciptakan konfrontasi terbesar antara Rusia dan Barat sejak Perang Dingin.
Konflik di Ukraina timur sendiri telah berlangsung sejak 2014, dipicu oleh penggulingan presiden pro-Rusia dalam Revolusi Maidan.
Setelah itu, Rusia mencaplok Krimea, sementara kelompok separatis yang didukung Moskow bertempur melawan militer Ukraina.
Negara-negara Barat dan Kyiv menilai invasi Rusia sebagai tindakan ekspansionis yang berusaha merebut wilayah Ukraina.
Sebaliknya, Presiden Putin menggambarkan perang ini sebagai perjuangan eksistensial melawan Barat, yang menurutnya telah meremehkan Rusia sejak runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 melalui ekspansi NATO ke wilayah-wilayah yang dianggap berada dalam pengaruh Moskow, termasuk Ukraina.
Eropa Dituding sebagai Sumber Konflik Dunia
Trump, yang berbicara dengan Putin pada 12 Februari dan menyatakan dirinya ingin dikenang sebagai pembawa perdamaian, mengubah pendekatan AS terhadap perang di Ukraina.
Lavrov mengungkapkan bahwa percakapan tersebut merupakan inisiatif Trump, yang baru-baru ini memperingatkan bahwa konflik ini bisa berkembang menjadi Perang Dunia Ketiga. Trump meyakini bahwa kesepakatan damai dapat dicapai.
Pada Jumat (29/2/2025), Trump dan Wakil Presiden JD Vance berselisih dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, di Ruang Oval.
Trump menuding Zelenskyy tidak menghormati Amerika Serikat, menyebutnya sedang kalah perang, dan mengklaim bahwa Kyiv sudah tidak memiliki kekuatan negosiasi.
Pernyataan tersebut segera mendapat pembelaan dari para pemimpin Eropa.
Namun, Lavrov justru melontarkan kritik terhadap negara-negara Eropa. Menurutnya, selama 500 tahun terakhir, Eropa telah menjadi sumber dari berbagai tragedi besar dunia, mulai dari kolonialisme, perang salib, Perang Krimea, era Napoleon, Perang Dunia I, hingga kepemimpinan Adolf Hitler dalam Perang Dunia II.
"Dan sekarang, setelah masa kepemimpinan Biden, muncul suara-suara yang menginginkan kebijakan yang lebih berlandaskan akal sehat. Mereka ingin mengakhiri semua perang dan menciptakan perdamaian," kata Lavrov. "Tapi siapa yang justru mendorong perang berlanjut? Eropa."
Lavrov juga menolak usulan pengiriman pasukan penjaga perdamaian dari Eropa ke Ukraina.
Menurutnya, Rusia sudah kehilangan kepercayaan terhadap Ukraina sejak kegagalan perjanjian Minsk yang bertujuan menghentikan konflik separatis di timur Ukraina.
"Sekarang mereka ingin menyelesaikannya dengan bayonet melalui pasukan penjaga perdamaian. Ini hanya akan membuat akar permasalahan tetap ada," tegas Lavrov.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]