Mereka mengamini, aksi protes itu dilakukan sebagai respons penolakan pendukung UAS terhadap kebijakan Kementerian Dalam Negeri Singapura. Namun mereka juga menegaskan bahwa Singapura memiliki aturan masing-masing, dan mereka menganggap serius setiap orang yang menganjurkan kekerasan atau mendukung ajaran ekstrimis dan segregasi.
Senada, Channel News Asia (CNA) juga menyoroti aksi protes yang dilakukan oleh sekitar 50 pria dan wanita di DKI Jakarta pada 20 Mei lalu. Dengan beratribut spanduk, mereka melakukan protes di depan Kedutaan Besar Singapura di tengah hujan lebat.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Salah satu spanduk mereka berbunyi: "Hentikan Islamofobia. Singapura minta maaf dalam waktu 2x24 jam kepada rakyat Indonesia. Jangan ganggu ulama kami".
CNA juga menyoroti perkataan UAS yang menyatakan bahwa dirinya tak gentar pergi ke Singapura lantaran negara itu merupakan tanah Melayu yang menurutnya mirip dengan daerah asalnya, Riau dan merupakan bagian dari kerajaan Tumasik Melayu.
Kerajaan Melayu yang dimaksud ialah Kesultanan Johor dan Kesultanan Johor-Riau. Secara rinci, Kesultanan Johor menguasai Tumasik atau Singapura sepanjang tahun 1511-1699 dan Kesultanan Johor-Riau sepanjang 1699-1818. Sebelum akhirnya dikuasai oleh perusahaan dagang Inggris di bawah pemerintahan Thomas Stamford Raffles sejak 19 Januari 1819 M.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
"Kalau saya bilang saya terhalang untuk mengunjungi Singapura, itu sama dengan mengatakan bahwa saya terhalang untuk mengunjungi Minangkabau, karena Singapura adalah tanah Melayu," kata UAS.
"Kami orang Riau menganggap Singapura bagian dari tanah kami," imbuhnya.
Lebih lanjut, CNA juga melaporkan bahwa aksi protes di Medan lebih besar ketimbang yang terjadi di Jakarta. Para pengunjuk rasa berkumpul di sebuah masjid dan berbaris menuju konsulat jenderal Singapura, menuntut agar Singapura bertanggung jawab karena mendeportasi UAS.