WahanaNews.co | Janet Yellen tidak mengungkapkan apakah dia akan ke luar dari pertemuan untuk memprotes invasi Moskow ke Ukraina.
Rusia tidak layak hadir dalam pertemuan para menteri keuangan G20 minggu ini, demikian Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen, Kamis (14/7/22), tanpa mengungkapkan apakah dia akan melakukan walk out saat perwakilan Moskow berpidato di acara tersebut.
Baca Juga:
Sherpa G20 Indonesia Pimpin Perundingan Sebagai Perjalanan Akhir Presidensi G20 Brasil
Berbicara kepada wartawan di Nusa Dua, Bali, tempat diselenggarakannya pertemuan tersebut pada Jumat dan Sabtu ini, Yellen mengatakan “ini tidak bisa dilakukan seperti biasa, terkait dengan partisipasi Rusia dalam pertemuan - pertemuan ini,” karena Moskow telah melanggar hukum internasional dengan menginvasi Ukraina.
“Saya berharap untuk mengungkapkan dalam istilah sekuat mungkin mengenai pandangan saya terkait invasi Rusia … perangnya atas Ukraina, dan tentu saya ingin berbicara tentang dampaknya terhadap Ukraina, pada ekonomi global dan mengutuknya,” kata menteri keuangan Amerika itu.
“Perwakilan rezim Vladimir Putin tidak memiliki tempat di forum ini. Kami berdiri teguh dengan rakyat Ukraina dan saya berharap dapat menyambut menteri keuangan Ukraina pada pertemuan G20 ini besok,” paparnya.
Baca Juga:
Menkeu Lakukan Diskusi Strategis tentang Pembiayaan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
Yellen beserta utusan negara lain seperti Inggris, Kanada, dan Ukraina meninggalkan ruangan atau walk-out dalam pertemuan menteri keuangan di Washington pada 20 April lalu, menyusul kehadiran Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov, sebagai protes atas invasi Rusia ke Ukraina, yang oleh Moskow diklaim sebagai operasi militer khusus”
Seperti saat itu, Indonesia, yang tahun ini memegang presidensi kelompok ekonomi terkemuka dunia G20, telah mengundang semua anggotanya untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi itu, termasuk Rusia, sementara Ukraina yang bukan anggota, diundang sebagai tamu.
Dalam pertemuan menteri keuangan di Bali ini baik perwakilan Rusia dan Ukraina akan hadir secara virtual menurut pejabat Indonesia, seperti dikutip Reuters.
Pertemuan para menteri keuangan dan kepala bank sentral G20 ini dilakukan seminggu setelah pertemuan menteri luar negeri G20 di Bali. Konferensi tingkat tinggi itu ditandai dengan keluarnya Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dari sesi pertemuan yang diwarnai kecaman terhadap Rusia atas serangan militer ke Ukraina.
Menteri Keuangan Janet Yellen pada Kamis mengatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina berdampak besar terhadap lonjakan harga energi, keamanan pangan, dan kelaparan bagi yang paling rentan secara global terutama negara-negara berkembang.
“Komunitas internasional harus jeli dalam meminta pertanggungjawaban Putin atas konsekuensi ekonomi dan kemanusiaan global akibat dari perangnya,” ujarnya.
Yellen mengatakan, dia juga akan terus mendorong untuk penetapan batas harga (price cap) minyak Rusia yang dikatakan bakal membantu menurunkan harga energi dan mempertahankan suplai aliran minyak global.
Yellen mengatakan membantu mereka yang paling rentan adalah pesan utamanya dalam pertemuan G20 ini terkait kondisi ekonomi global yang memburuk sejak invasi Rusia ke Ukraina.”
AS, kata Yellen, akan memberikan hibah sebesar US$70 juta kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk program Pengurangan Kemiskinan dan Kepercayaan Pertumbuhan untuk lebih memungkinkan Dana Moneter Internasional memberikan pinjaman tanpa bunga kepada negara dengan ekonomi termiskin di dunia.
Secara global, kata dia, Amerika juga telah mengambil tindakan cepat mengurangi kerawanan energi dan pangan dengan menyerukan lembaga keuangan internasional untuk melipatgandakan pekerjaan mereka serta mengambil peran utama dalam Program Pertanian dan Ketahanan Pangan Global dengan menyumbangkan dana US$150 juta.
Perburuk perekonomian global
Berbicara sebelum Yellen, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa ketegangan antara Rusia dan Ukraina telah berdampak buruk terhadap perekonomian global, mengingat keduanya berperan strategis dalam rantai pasok perdagangan internasional.
"Ketegangan kedua negara telah berdampak signifikan pada global, yang paling terasa adalah krisis energi, pangan, dan juga inflasi," kata Sri Mulyani.
"(Maka) kami mengajak pimpinan negara untuk bersama-sama menghadapi tantangan inflasi ini. Ini juga akan menjadi diskusi penting dalam pertemuan G20."
Dalam keterangan dua pekan lalu, Sri Mulyani sempat mengatakan bahwa pembengkakan belanja negara dapat menyentuh Rp3.169,1 triliun, naik dari target sebelumnya yakni Rp2.714,2 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia sejatinya sudah merasakan efek kenaikan harga dari barang-barang impor (imported inflation), tak cuma dalam sektor pangan tapi juga obat-obatan
"(Sebanyak) 90 persen bahan baku farmasi berasal dari import sehingga efeknya sangat dirasakan di sektor kesehatan," kata Bhima kepada BenarNews, Kamis.
Mengenai dorongan pembatasan harga minyak mentah Rusia oleh Amerika, Bhima mengatakan, "Tidak mengimpor minyak dari Rusia, berarti Indonesia harus mengimpor dengan harga pasar yang lebih tinggi. Sementara mengimpor dari Rusia dengan harga lebih murah akan diserang oleh negara Barat dan dianggap pro-Rusia," ujarnya.
Di berbagai kesempatan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan bahwa negara yang masih melakukan transaksi perdagangan kepada Rusia pasca invasi Kremlin sebagai secara tidak langsung membantu serangan Rusia ke Ukraina. Merujuk kepada negara-negara yang tetap membeli minyak dari Rusia, Zelenskyy mengatakan mereka sebagai "mendapatkan uang dari darah orang lain."
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengkritisi pernyataan Yellen yang tidak menyinggung perihal kebijakan suku bunga bank sentral Amerika, The Fed, yang agresif dan membuat tekanan terhadap gejolak ekonomi global menjadi lebih tinggi.
Bagi Indonesia, menurutnya, manuver itu bakal membuat rupiah kian melemah, bahan baku dari negara lain naik, dan mendorong imported inflation.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal mengomentari ajakan Yellen untuk memberlakukan price cap terhadap minyak Rusia, hal itu menurutnya bisa mengurangi atau menghambat revenue Rusia untuk membiayai perang karena minyak yang dijual Rusia jadi lebih murah.
"Tapi memberlakukan price cap ini butuh kerja sama, semacam kartel antarnegara," ujar Faisal
Jika kemudian ada yang tidak sepakat atau mengingkari kesepakatan maka akan menggagalkan atau mengurangi efektivitas kebijakan pemberlakuan price cap tersebut, paparnya.[gab]