Kondisi serupa juga dirasakan Sae Klomkamnerd (63), seorang petani di Provinsi Phichit, Thailand, yang terpaksa menjual 5.200 bebeknya karena berhenti bertelur imbas panas ekstrem.
Klomkamnerd bercerita bahwa ia harus mengambil air tanah pada siang hari demi mengisi dan mendinginkan kolam bebek. Namun, usahanya itu sia-sia karena air kolam tetap terasa panas.
Baca Juga:
Barantin Sulawesi Utara Musnahkan 144 Ekor Ayam Tanpa Dokumen Karantina Resmi
"Airnya masih terlalu panas. Setelah sembilan atau 10 jam, airnya jadi panas dan bebek-bebek tak mau masuk lagi. Mereka pergi ke tempat teduh dan bersembunyi di bawah pohon," ucapnya.
Klomkamnerd berujar biasanya 80-90 persen itik muda bakal bertelur di waktu-waktu ini. Namun, karena cuaca begitu panas, produksi telur para itik turun jadi 60-50 persen.
"Jika bebeknya lebih tua, jumlah telurnya bahkan turun hingga 30 persen," kata Klomkamnerd.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Menurut Klomkamnerd, telur-telur yang berhasil diproduksi para itik pun lebih kecil dibandingkan ukuran biasanya. Karenanya, hasil penjualan telur jadi lebih murah.
"Saya cuma bisa mendapatkan 75 baht untuk satu nampan telur. Pada tahun yang baik, kami bisa menjual seharga 100-105 baht per nampan. Tahun ini benar-benar mengerikan," tutur Klomkamnerd.
Lay Samrach (44), seorang pekerja konstruksi di Phnom Penh, Kamboja, juga mengaku tak tahan dengan panas ekstrem belakangan ini. Ia sampai izin beristirahat beberapa kali di sore hari agar tetap prima saat bekerja.