WahanaNews.co |
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, sekitar 100.000 orang telah
mengungsi akibat pertempuran baru antara militer Myanmar dan kelompok
pemberontak di timur negara yang dilanda kudeta tersebut.
Myanmar berada dalam kekacauan, dan ekonominya
lumpuh, sejak militer menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi pada Februari, karena
menuduhnya melakukan kecurangan selama pemilihan 2020.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Pertempuran telah berkobar di beberapa
komunitas, terutama di kota-kota yang telah melihat jumlah korban tewas yang
tinggi di tangan polisi, dan beberapa penduduk setempat telah membentuk
"pasukan pertahanan".
"Bentrokan baru-baru ini dan serangan tanpa
pandang bulu oleh pasukan keamanan terhadap wilayah sipil telah memaksa sekitar
100.000 orang meninggalkan rumah mereka di negara bagian Kayah timur, dekat
perbatasan Thailand," kata Kantor PBB di Myanmar, Selasa (8/6/2021).
"Mereka yang berada di daerah yang dilanda
pertempuran sangat membutuhkan makanan, air, tempat tinggal, dan perawatan
kesehatan," imbuhnya.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
PBB menambahkan bahwa pembatasan perjalanan
yang diberlakukan oleh pasukan keamanan menunda pengiriman bantuan yang sangat
dibutuhkan.
Penduduk setempat di negara bagian Kayah
menuduh militer menggunakan peluru artileri yang mendarat di desa-desa.
Gambar-gambar yang beredar dari wilayah
tersebut menunjukkan, penduduk desa membuat senjata di pabrik-pabrik darurat
saat kelompok pertahanan lokal melawan militer Myanmar yang keras dalam
pertempuran.
Lebih dari 800 orang telah tewas di seluruh
negeri dalam tindakan keras militer brutal terhadap perbedaan pendapat sejak
Februari, menurut kelompok pemantau lokal.
Perekonomian nasional dan sistem perbankan
Myanmar lumpuh sejak perebutan kekuasaan oleh tentara.
Mata pencaharian telah hilang setelah
pemogokan dan penutupan pabrik, harga bahan bakar melonjak dan mereka yang
cukup beruntung memiliki tabungan bank menghadapi antrian sepanjang hari untuk
menarik uang tunai mereka.
Pada Selasa (8/6/2021), Palang Merah
mengatakan, pihaknya segera meningkatkan upaya untuk memenuhi kebutuhan
kemanusiaan 236.000 orang di Myanmar, yang sudah terhuyung-huyung dari pandemi Covid-19
sebelum kudeta terjadi.
Pengumuman itu muncul setelah Presiden dari badan
amal tersebut, Peter Maurer, melakukan pertemuan langka dengan pemimpin junta,
Min Aung Hlaing, pekan lalu, dan menyerukan peningkatan akses kemanusiaan ke
negara itu. [qnt]