WAHANANEWS.CO - Lebih dari 70 ribu anak-anak di Jalur Gaza menghadapi malnutrisi akut, menurut laporan terbaru World Food Programme (WFP), badan pangan di bawah naungan PBB.
Krisis ini dipicu oleh blokade bantuan kemanusiaan oleh militer Israel yang sudah berlangsung selama 11 minggu.
Baca Juga:
Golden Dome vs Iron Dome: Mana Lebih Unggul, Amerika atau Israel?
WFP menggambarkan situasi di Gaza sebagai sangat genting.
“WFP mengambil setiap kesempatan untuk memberikan bantuan makanan dan nutrisi – tetapi ini hanyalah setetes air di dalam ember,” tulis badan tersebut di platform X, dilansir dari Al Jazeera, Sabtu (24/5/2025
“Untuk mencegah kelaparan dan menyelamatkan nyawa, kami membutuhkan akses yang segera, tidak terbatas, dan aman untuk mengirimkan bantuan,” lanjut WFP.
Baca Juga:
Israel Tembaki Rombongan Diplomat di Tepi Barat, Kecaman Global Mengalir
Meski Israel sempat melonggarkan sebagian blokade dan mengizinkan beberapa truk bantuan masuk, WFP menilai jumlah itu sangat tidak mencukupi.
Tak hanya ancaman gizi buruk bagi anak-anak, Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan:
300 kasus keguguran akibat kelaparan,
58 warga meninggal karena kekurangan gizi,
dan 242 lainnya meninggal karena kekurangan makanan dan obat-obatan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk blokade yang dilakukan Israel.
“Selama hampir 80 hari, Israel memblokir masuknya bantuan internasional yang menyelamatkan nyawa,” kata Guterres.
“Seluruh penduduk Gaza menghadapi risiko kelaparan,” tambahnya.
Guterres menekankan bahwa bantuan yang saat ini diizinkan masuk hanyalah bagian kecil dari yang dibutuhkan.
“Semua bantuan yang diizinkan hingga saat ini hanya berjumlah satu sendok teh ketika bantuan yang dibutuhkan sangat banyak,” ujarnya.
Ia memperingatkan bahwa sekitar 80 persen wilayah Gaza kini menjadi zona militer atau berada di bawah perintah evakuasi.
“Tanpa akses bantuan yang cepat, dapat diandalkan, aman, dan berkelanjutan, lebih banyak orang akan meninggal – dan dampak jangka panjang bagi populasi Gaza akan sangat besar,” tegas Guterres.
[Redaksi: Rinrin Khaltarina]