WahanaNews.co |
Lima negara menjadi ancaman gagalnya kesepakatan atau
Perjanjian Paris (Paris Agreement),
dan Indonesia adalah salah satunya.
Hal ini disampaikan dalam laporan terbaru yang
diterbitkan oleh lembaga Think Tank
Carbon Tracker Initiative, dalam judul laporan Do Not Revive Coal.
Baca Juga:
Pensiunkan PLTU, PLN Soroti Harga Kelistrikan bagi Konsumen
Perjanjian Paris adalah kesepakatan global yang
monumental untuk menghadapi perubahan iklim, yang dilaksanakan di Paris,
Prancis, pada tahun 2015.
Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC)
untuk periode 2020-2030.
Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam hal ini mengawal reduksi atau pengurangan
emisi karbon dioksida.
Baca Juga:
Dorong Dekarbonisasi, PLN Group Persiapkan Co-Firing 60 Persen Green Amonia di PLTU Jawa 9 dan 10
Adapun, tujuan utama Perjanjian Paris tersebut
adalah menjaga kenaikan temperatur global abad ini di bawah 2 derajat Celcius
dan untuk mendorong upaya untuk membatasi kenaikan suhu lebih jauh ke 1,5
derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.
Ancaman tidak tercapainya target Perjanjian
Paris ini berasal dari lima negara, yaitu Jepang, Indonesia, India, Vietnam,
dan Tiongkok.
Lantas, mengapa kelima negara ini bisa
mengancam Perjanjian Paris?
Alasan utama ancaman gagalnya Perjanjian Paris
yang ditemukan adalah persoalan rancangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU).
Diketahui bahwa kelima negara ini berencana
membangun 600 PLTU batu bara baru yang mencakup sekitar 80 persen dari porsi
batu bara baru global.
Kapasitas dari seluruh PLTU itu melebihi 300
gigawatt (GW).
Hal ini dianggap mengkhawatirkan, karena tak
menghiraukan seruan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Antonio
Guterres, untuk membatalkan PLTU batu bara baru.
Pasalnya, negara Jepang, Indonesia, India,
Vietnam, dan Tiongkok mengoperasikan 3/4 PLTU yang ada di seluruh dunia.
Sebanyak 55 persen adalah negara Tiongkok dan
12 persen adalah India.
Sekitar 27 persen kapasistas PLTU batu bara
global tidak dapat menghasilkan keuntungan, dan 30 persen hampir mencapai titik
break even.
Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan
yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini.
Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW
pembangkit baru sudah direncanakan untuk dibangun.
Energi terbarukan ditargetkan akan mengalahkan
seluruh tambang baru yang ada pada tahun 2024.
PT Pembangkit Listrik Negara (PLN Persero)
sendiri masuk ke dalam daftar perusahaan dengan aset yang terancam menjadi aset
terlantar dalam skema B2DS (Below 2
Degrees).
Dari 22,529 MW kapasitas, PLN berisiko
kehilangan 15,41 miliar USD dari aset terbengkalai dengan patokan B2DS.
Sementara itu, ada fakta menarik dari laporan Do Not Revive Coal tersebut.
Fakta utama yang berhasil dihimpun dalam
laporan tersebut adalah di masa depan biaya operasi PLTU yang dinilai akan
lebih mahal dibandingkan dengan energi bersih terbarukan.
Pada tahun 2024, biaya Energi Terbarukan (ET)
akan lebih murah dibandingkan pembangkit batu bara di seluruh dunia.
Sedangkan, pada tahun 2026, pengoperasian PLTU
batu bara yang ada 100 persen lebih mahal dibandingkan pengoperasian ET.
Dengan adanya kompetisi dari ET dan regulasi
yang semakin ketat, maka diproyeksikan PLTU batu bara akan semakin tidak
menguntungkan.
Jika target Perjanjian Paris tercapai,
sekitar220 triliun US Dollar PLTU batu bara global yang sudah beroperasi
beresiko menjadi aset terbengkalai (stranded
assets).
Sekitar 80 persen PLTU batu bara global yang
sudah beroperasi dapat digantikan oleh pembangkit Energi Terbarukan yang lebih
hemat biaya.
Oleh karena itu, Head of Power and Utilities Carbon Tracker, Catharina Hillenbrand
Von Der Neyen, dalam keterangan tertulisnya melalui Yayasan Indoensia Cerah,
mengatakan, laporan itu mengungkapkan 92 persen proyek PLTU baru yang
direncanakan secara ekonomis tidak menguntungkan.
Selain itu, dana perkiraan investasi
pembangunannya mencapai 150 triliun US Dollar bakal terbuang sia-sia walaupun
dalam keadaan business as usual
(BAU).
"Investor seharusnya menjauhi pembiayaan
proyek baru, karena dari awal terproyeksi akan menghasilkan negative return," kata dia, Rabu
(30/6/2021).
Dampak Buruk PLTU Batubara
PLTU batu bara yang tersebar dan beroperasi di
Indonesia, melepaskan jutaan ton polusi setiap tahunnya.
Dari waktu ke waktu PLTU-PLTU tersebut diyakini
mengotori udara yang kita hirup dengan polutan beracun.
Adapun, polutan yang dihasilkan bisa berupa
merkuri, timbal, arsenik, kadmium dan partikel halus namun beracun, yang telah
menyusup ke dalam paru-paru manusia.
Oleh karena itu, polusi udara atau polutan ini
dianggap sebagai pembunuh senyap yang menyebabkan 3 juta kematian dini di
seluruh dunia.
Tidak hanya itu, penyakit yang bisa terdampak
dari polutan beracun akibat operasi PLTU batu bara ini seperti risiko kanker
paru-paru, stroke, jantung dan penyakit pernapasan.
Bahkan, tidak hanya berdampak langsung pada
kesehatan manusia, sektor lainnya yang dirugikan selain kesehatan adalah
pertanian, perikanan, lingkungan dan perekonomian masyarakat.
Sementara, sektor energi sendiri memiliki
target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton di tahun 2030
mendatang.
Penambahan PLTU batubara ini akan berpotensi
mengunci emisi gas rumah kaca selama 40 tahun mendatang, sebab masa operasional
PLTU ini berlangsung selama itu.
"Jadi sebenarnya penambahan PLTU batubara
ini sangat bertolak belakang dengan komitmen penanggulangan krisis iklim. Di
mana tren global berupaya mengurangi jumlah PLTU baru," jelas Adila
Isfandiari, selaku Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, beberapa waktu lalu. [qnt]