WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah meningkatnya ketegangan akibat perang di Jalur Gaza, sekitar 970 personel Angkatan Udara Israel, termasuk pilot, perwira, dan tentara pasukan cadangan, menandatangani petisi yang menolak keterlibatan mereka dalam konflik tersebut.
Petisi ini mencerminkan ketidakpuasan di kalangan militer terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai lebih bermuatan politik daripada kepentingan keamanan nasional.
Baca Juga:
Pemerintah Indonesia Konsultasikan Dukungan Kemanusiaan untuk Palestina, Tegaskan Penolakan Relokasi Warga Gaza
Media Israel Haaretz, mengutip laporan dari Anadolu Agency, menyebutkan bahwa meskipun surat tersebut menentang perang, para penandatangannya tidak secara eksplisit menyerukan pembangkangan terhadap tugas militer mereka.
Namun, substansi petisi tersebut cukup untuk memicu respons keras dari petinggi militer Israel.
Dalam petisi itu ditegaskan bahwa operasi militer di Gaza lebih bertujuan untuk memenuhi agenda politik tertentu dibandingkan dengan menjaga keamanan negara.
Baca Juga:
MER-C Indonesia Kecam Serangan Sistematis Israel terhadap Tenaga Medis
Sikap ini langsung mendapat tanggapan dari Angkatan Udara Israel yang mengeluarkan ancaman pemecatan bagi personel yang menandatangani petisi tersebut.
Sejumlah pejabat tinggi Angkatan Udara Israel segera menghubungi para penandatangan, termasuk para pilot yang terlibat, untuk menegaskan bahwa mereka akan menghadapi pemecatan jika menolak mematuhi perintah.
Tekanan ini membuat 25 anggota AU Israel menarik kembali tanda tangan mereka dari petisi tersebut.
Sehari setelah petisi beredar, Komandan Angkatan Udara Israel, Mayor Jenderal Tomer Bar, bertemu dengan beberapa perwira yang menandatangani petisi itu.
Dalam pertemuan tersebut, sejumlah perwira menyampaikan kritik terhadap ancaman pemecatan yang dilayangkan oleh Bar, menilai tindakan tersebut bertentangan dengan hukum dan etika militer terkait hak pasukan cadangan untuk menyampaikan pendapat.
Menanggapi kritik tersebut, Bar membantah bahwa tindakan yang diambilnya merupakan bentuk hukuman.
Ia menegaskan bahwa mereka yang menandatangani petisi, yang menurutnya bermuatan politis dan dapat merugikan negosiasi pembebasan sandera, tidak dapat lagi menjalankan tugas mereka sebagai pasukan cadangan.
Lebih lanjut, Bar menyatakan bahwa petisi yang dibuat di tengah perang tidak memiliki legitimasi.
Ia juga meyakini bahwa kesepakatan terkait gencatan senjata dan pembebasan sandera akan segera tercapai, sehingga keterlibatan militer dalam konflik ini dapat berkurang dalam waktu dekat.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]