WahanaNews.co, Sana'a - Ketegangan terus berlanjut di Laut Merah, yang merupakan jalur pelayaran yang mencakup 15% perdagangan dunia.
Pada Kamis (18/1/2024), kelompok milisi Houthi dari Yaman melaporkan telah menyerang kapal Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan drone (pesawat tak berawak).
Baca Juga:
Perdagangan Tersendat, China Jadi 'Korban' Baru Konflik Laut Merah
Aksi ini terjadi beberapa jam setelah Washington mengumumkan kembali mengklasifikasikan Houthi sebagai "teroris". Sebagai tanggapan terhadap tindakan terbaru AS, Houthi berjanji untuk melancarkan serangan lebih lanjut terhadap kapal-kapal tersebut.
AFP melaporkan pernyataan juru bicara militer Huthi, Yahya Saree, yang menyatakan, "Angkatan laut menargetkan kapal AS, yaitu Genco Picardy di Teluk Aden, dengan sejumlah rudal yang sesuai."
Saree juga menambahkan bahwa Houthi bertekad untuk terus melakukan serangan sebagai bentuk pembelaan diri dan dukungan terhadap warga Palestina di Gaza.
Baca Juga:
Berbekal Perangkat Jadul, Houthi Nekat Lawan AS yang Andalkan Jet Tempur Canggih F-35
Badan keamanan Operasi Perdagangan Maritim Inggris (UKMTO) juga membenarkan serangan drone tersebut, menyatakan bahwa drone tersebut mengenai sebuah kapal di Teluk Aden.
Kejadian tersebut menyebabkan kapal tersebut terbakar, meskipun api dapat dipadamkan dan tidak menimbulkan korban jiwa.
UKMTO menambahkan informasi bahwa insiden tersebut terjadi 60 mil laut tenggara pelabuhan Aden, serta memberikan peringatan kepada kapal untuk bertransit dengan hati-hati dan melaporkan segala aktivitas mencurigakan kepada UKMTO.
Sementara itu, perusahaan manajemen risiko maritim Inggris, Ambrey, mengonfirmasi bahwa kapal yang diserang adalah kapal curah berbendera Kepulauan Marshall.
Ambrey menyebutkan bahwa kapal tersebut sedang bergerak ke arah timur di sepanjang Teluk Aden ketika diserang oleh UAV (drone) di sisi kiri. Keterangan lain menyebutkan bahwa sebuah kapal perang India telah berkontak dengan kapal curah tersebut.
Dia juga menyatakan bahwa Houthi akan merespons serangan terbaru yang dilakukan oleh AS atau Inggris di Yaman, walaupun mereka telah mengalami beberapa serangan udara sebagai balasan atas tindakan mereka yang mengincar kapal dagang.
Sejak Jumat (16/1/20240, AS dan Inggris telah melakukan serangan di Yaman sebanyak tiga kali.
Laut Merah merupakan jalur pelayaran terpendek antara Asia dan Eropa di perairan tersebut, di mana kapal-kapal melewati wilayah tersebut menuju Terusan Suez, Mesir.
Akibat dari serangan tersebut, perusahaan pelayaran telah mengubah rute pelayaran ke ujung harapan, di Afrika Selatan (Afsel), yang memerlukan waktu lebih lama dan biaya lebih tinggi.
Hari sebelumnya, tiga perusahaan pelayaran utama dari negara tersebut mengumumkan rencana untuk menunda rute melalui Laut Merah.
Serangan milisi Huthi di Yaman terhadap kapal-kapal di jalur penting tersebut menjadi penyebab utama perubahan ini.
"Kami telah menangguhkan navigasi melalui Laut Merah bagi semua kapal yang kami operasikan," kata juru bicara Nippon Yusen atau dikenal sebagai NYK Line, diberitakan AFP.
"Keputusan tersebut adalah untuk menjamin keselamatan awak kapal," tambahnya.
Sementara itu dua perusahaan pelayaran besar Jepang lainnya yang ikut menangguhkan pelayaran adalah Mitsui O.S.K. Lines dan Kawasaki Kisen Kaisha. Juru bicara keduanya juga mengonfirmasi.
Angkutan Udara Terdampak
Serangan Houthi di Laut Merah tidak hanya meningkatkan tarif angkutan laut, tetapi juga dipastikan angkutan udara.
Prediksi kenaikan tarif ini terjadi akibat arus perdagangan global semakin terganggu.
Dalam beberapa minggu terakhir, tarif angkutan laut telah meningkat sebesar US$10,000 atau sekitar Rp156 juta per kontainer berukuran 12,1 meter (40 kaki).
Kenaikan terjadi karena kapal kontainer berusaha menghindari serangan di Laut Merah dengan melakukan perjalanan jauh di sekitar Tanjung Harapan di Afrika Selatan, mengalihkan muatan lebih dari US$200 miliar dari konflik di perairan tersebut.
Para analis menyebut penundaan perdagangan maritim kemungkinan besar mendorong beberapa pengecer untuk beralih ke angkutan udara. Karena perusahaan yang biasanya mengirimkan barang mereka melalui laut ingin memastikan pengiriman lebih cepat.
Ini artinya kargo udara akan memainkan peran yang lebih besar dalam ekosistem rantai pasokan.
Angkutan udara dapat memangkas waktu pengiriman menjadi hanya beberapa hari dibandingkan dengan angkutan laut yang memakan waktu berminggu-minggu.
"Beberapa pengirim barang sudah berada dalam mode bertahan hidup dengan satu tujuan di benak mereka: 'Pastikan barang saya bergerak dengan cara apa pun yang memungkinkan,'" kata wakil presiden layanan kelautan global di C.H. Robinson, Matthew Burgess, seperti dikutip CNBC International.
Burgess menyatakan bahwa untuk menghadapi potensi konversi dari pengiriman laut ke pengiriman udara, perusahaan logistik transportasi tersebut telah meningkatkan kapasitas udara tambahan di jalur perdagangan utama.
Tujuannya adalah untuk memastikan kelancaran pergerakan barang.
Global Head of Shipping and Ports Research HSBC, Parash Jain, mengungkapkan bahwa kita dapat mengharapkan peningkatan tarif angkutan udara.
Para pengamat industri memproyeksikan bahwa kenaikan ini diperkirakan akan terjadi dalam dua hingga tiga minggu mendatang, khususnya menjelang perayaan Tahun Baru Imlek pada bulan Februari.
Saat itu, terjadi peningkatan ekspor dari Asia selama periode liburan tahunan tersebut, dengan perusahaan berusaha untuk mengangkut lebih banyak barang sebelum bisnis menghentikan aktivitas selama dua minggu.
Sementara itu, raksasa logistik Jerman, DHL, menyatakan bahwa perusahaannya telah menerima beberapa permintaan, meskipun belum ada banyak perubahan yang terlihat.
Andreas Von Pohl, Kepala Angkutan Udara untuk DHL Global Forwarding Americas, menyatakan bahwa mereka memperkirakan situasi ini dapat berubah jika ketegangan di Laut Merah terus berlanjut.
Meskipun demikian, berdasarkan data Xeneta, harga spot kargo udara secara keseluruhan sebenarnya mengalami penurunan sebesar 18% dibandingkan dengan Desember 2023.
Tarif spot kargo udara global mencapai puncaknya, yakni sekitar US$2,6 per kg pada bulan Desember.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]