Anggota parlemen GreenLeft, Corinne Ellemeet, lantas mendesak pemerintah untuk mengakui bahwa Belanda telah melakukan kejahatan perang. Menurutnya, apa yang dilakukan tentara Belanda di masa lalu tidak cukup untuk disebut "kekerasan ekstrem struktural."
"Sejarah akan dilanggar jika itu tidak terjadi," kata Ellemeet.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
Sementara itu, Demokrat 66 (D66) juga mendesak pemerintah Belanda untuk memberi kompensasi kepada keluarga korban di pihak Indonesia. Menurut Sjoerdsma, ada 900 korban yang kerabatnya berhak mendapatkan ganti rugi.
Menanggapi hal ini, Rutte mengaku tak bisa menerima alasan Ellemeet. Rutte menyebut perang di Indonesia "secara hukum" merupakan konflik internal.
Karenanya, tindakan di masa lalu tak bisa disebut sebagai kejahatan perang. Selain itu, menurut Rutte, Konvensi Jenewa 1949, hukum pidana, dan hukum internasional juga tak mengakui pelanggaran hukum humaniter internasional sebagai kejahatan perang dalam "konflik non-internasional", demikian dilaporkan NRC.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Meski begitu, Rutte meminta maaf atas nama pemerintah Belanda kepada Indonesia dan semua pihak di Amsterdam yang dirugikan akibat perang tersebut.
Dia juga menekankan bahwa kepemimpinan politik dan militer saat itu adalah pihak yang paling bersalah.
Pada kesempatan yang sama, Rutte pun mengakui bahwa Indonesia sebenar-benarnya merdeka pada 17 Agustus 1945. Hal itu sesuai dengan pengakuan dan sikap raja Belanda selama ini yang selalu mengucapkan selamat kepada RI.