WahanaNews.co, Jakarta - Gelombang kedatangan warga Rohingya ke wilayah Aceh, Indonesia, terus berlangsung.
Mereka tiba dengan menggunakan perahu dari Myanmar, dengan tujuan untuk melarikan diri dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Baca Juga:
Serangan Udara Israel Picu Gelombang Pengungsian Massal di Lebanon
Namun, penerimaan terhadap kedatangan mereka tidak positif di kalangan warga Aceh.
Masyarakat menyatakan ketidaknyamanan terhadap perilaku warga Rohingya yang sebelumnya sudah diterima, dengan menyebut bahwa mereka sering kali melanggar aturan yang berlaku.
Di sisi lain, UNHCR, organisasi PBB untuk pengungsi, berupaya untuk menyediakan tempat penampungan bagi warga Rohingya di wilayah Aceh.
Baca Juga:
JPU Aceh Besar Dakwa Tiga WNA Selundupkan 134 Imigran Rohingya ke Aceh
Saat ini, badan tersebut tengah mencari lokasi yang dapat dijadikan tempat pengungsian.
Terkait dengan kewajiban Indonesia untuk menerima para pendatang Rohingya, Hikmahanto Juwana, seorang Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani, berpendapat bahwa kehadiran etnis Rohingya bukan urusan Indonesia.
Menurutnya, Indonesia seharusnya tidak menganggap etnis Rohingya sebagai pengungsi, karena Indonesia tidak termasuk sebagai peserta dalam Convention relating to the Status of Refugees yang lebih dikenal sebagai Refugees Convention 1951.
"Bila etnis Rohingya hendak diperlakukan sebagai pengungsi maka ini merupakan urusan UNHCR dan Indonesia hanya membantu sedapatnya mengingat para etnis Rohingya saat ini berada di Indonesia," ujarnya, mengutip CNBC Indonesia, Rabu (13/12/2023).
Ia juga menambahkan bahwa etnis Rohingya yang berdatangan ke Indonesia melalui Aceh dengan menggunakan kapal-kapal laut bukanlah pengungsi melainkan pendatang gelap.
"Orang-orang yang memasuki wilayah negara lain tidak serta merta bisa mendapatkan status atau dapat dikatakan sebagai Pengungsi. Mereka harus melalui verifikasi oleh UNHCR atau oleh otoritas keimigrasian dari wilayah negara yang dimasuki," katanya.
"Tujuan verifikasi ini adalah untuk memastikan orang yang datang tersebut memenuhi definisi Pasal 1 Konvensi Pengungsi, di samping memastikan mereka bukanlah orang yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik dan tidak memilki catatan kriminal di negara asalnya," tambahnya.
Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan ada lima hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk ketegasan. Pertama yakni menyerahkan segala sesuatu kepada UNHCR.
Kedua, pemerintah harus meminta agar UNHCR menyiapkan dan mengeluarkan anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dari etnis Rohingya.
Ketiga, pemerintah untuk sementara harus mencarikan pulau terpencil untuk menampung etnis Rohingya untuk mengantisipasi mereka lari dari penampungan dan berbaur dengan warga lokal.
"Keempat, pemerintah meminta ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta untuk melakukan pemulangan terhadap etnis Rohingya atau UNHCR sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) dan (3) Perpres 125," paparnya lagi.
"Kelima Indonesia wajib meminta kantor UNHCR di Jakarta yang bertugas untuk melakukan screening para pencari suaka dan status pengungsi untuk segera ditutup. Hal ini karena kantor tersebut menjadi faktor pendorong banyaknya etnis Rohingya dan sejumlah bangsa keluar dari negaranya datang ke Indonesia," jelasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]