WahanaNews.co, Jakarta - Serangan Ukraina terhadap wilayah Kursk di Rusia telah menambah tantangan baru bagi pemerintah Rusia yang dipimpin oleh Presiden Vladimir Putin. Saat pasukan Kyiv terus menguasai sejumlah wilayah di daerah tersebut, Moskow menghadapi masalah dalam hal jumlah personel.
Menurut laporan Al Jazeera, Rusia sejauh ini masih mempertahankan sistem perekrutan tetap untuk angkatan bersenjatanya, dengan banyak personel langsung ditugaskan ke medan perang di Ukraina Timur dan Selatan.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Namun, serangan di Kursk telah mengganggu keseimbangan tersebut. Moskow kini lebih banyak mengandalkan personel wajib militer daripada prajurit profesional, yang membuat langkah Kyiv lebih mudah dalam menghadapi pasukan Rusia. Akibatnya, sejumlah tentara Rusia telah ditawan oleh pasukan Ukraina yang dipimpin oleh Presiden Volodymyr Zelensky.
Di sisi lain, ibu-ibu Rusia mulai mengeluh bahwa putra-putra mereka terlibat dalam pertempuran aktif. Mereka meminta putranya yang masuk wajib militer untuk dipulangkan dari medan peperangan.
"Oksana Deeva, ibu dari seorang wajib militer yang menemukan dirinya di wilayah Kursk, menerbitkan petisi untuk memulangkan wajib militer dari zona pertempuran. Hampir tiga ribu orang menandatanganinya dalam tiga hari," tulis sebuah media berita independen Rusia dikutip Senin (26/8/2024).
Baca Juga:
Selama di Indonesia Paus Fransiskus Tak Akan Naik Mobil Mewah-Anti Peluru
Lembaga think-tank yang berbasis di Amerika Serikat (AS), Institute for the Study of War (ISW), menyebut bahwa organisasi para ibu pasukan memiliki kekuatan politik di Rusia. Mereka telah memainkan sejarah panjang dalam dinamika militer Rusia bahkan sejak zaman negara itu masih merupakan Uni Soviet.
"Organisasi-organisasi ibu-ibu telah mampu mengarahkan gerakan-gerakan sosial Rusia yang besar di masa lalu, seperti halnya Komite Ibu-ibu Prajurit (yang kemudian berganti nama menjadi Persatuan Komite Ibu-ibu Prajurit), yang menggalang dukungan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan wajib militer Soviet pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an dan berhasil menyerukan transparansi yang lebih besar dalam militer Soviet," tulis ISW.
Pada hari-hari awal invasi, Putin meyakinkan anggota keluarga wajib militer bahwa tentara profesional akan menanggung beban pertempuran. Namun, banyaknya korban di antara pasukan berpengalaman telah memaksa Putin untuk menawarkan pengampunan kepada narapidana, imigran, dan warga non-etnis Rusia untuk bertugas di Ukraina.