WahanaNews.co | Transisi dari energi fosil
ke energi terbarukan, yang kini gencar dilakukan sebagian besar negara di
dunia, memunculkan ramalan bakal terjadinya kekurangan pasokan mineral seperti nikel, lithium, dan kobalt.
Pemakaian kendaraan listrik terus
digencarkan dunia, sehingga permintaan untuk baterai
kendaraan listrik diprediksi akan melonjak.
Baca Juga:
Ratusan Ribu Masyarakat Menjadi Pelanggan PLN UP3 Cengkareng Per Februari 2024
Sejumlah analis menilai, peningkatan kebutuhan baterai ini berpotensi membuat kekurangan
pasokan bahan baku mineral.
Melansir Reuters, harga lithium yang tinggi telah gagal memacu adanya
investasi kapasitas baru, karena harga kontrak jangka
panjangnya lebih rendah.
Sementara masalah pasokan kobalt, yang sebagian besar merupakan produk
sampingan dari tembaga, membuat keputusan investasinya lebih didasarkan pada harga tembaga.
Baca Juga:
PLN Siagakan 81 Ribu Petugas Jaga Kelistrikan Andal Selama Ramadan dan Cuaca Ekstrem
Selain itu, kebutuhan nikel bakal
dipenuhi dari proyek-proyek baru yang akan segera hadir di Indonesia, dan disebut memiliki cadangan nikel terbesar di
dunia.
Dengan demikian, kemungkinan
kekurangan pasokan secara signifikan baru akan terjadi menjelang akhir dekade
ini.
Berikut sejumlah komoditas mineral
yang berpotensi kekurangan pasokan.
Lithium
Baterai kendaraan listrik dapat
menggunakan lithium karbonat atau lithium hidroksida, tetapi industri biasanya
berbicara tentang lithium karbonat setara (LCE, lithium carbonate equivalent) yang mengandung keduanya.
Berdasarkan Benchmark Mineral Intelligence (BMI), dikutip dari Reuters, harga LCE di pasar spot telah naik di atas US$ 12.000 per
ton, atau setara Rp 172 juta (kurs Rp 14.300/US$), dua kali lipat dari
level yang terlihat pada November tahun lalu dan tertinggi sejak Januari 2019.
Level tersebut cukup tinggi untuk
mendorong investasi meningkatkan kapasitas, tetapi kontrak tahunan atau jangka
panjang yang ditandatangani pada kuartal terakhir tahun 2020 lalu, dengan harga
yang lebih rendah, menjadi penghalang.
George Miller dari BMI memperkirakan, defisit LCE sebesar 25.000 ton tahun ini, dan memprediksi komoditas mineral ini akan mengalami defisit akut mulai tahun
2022.
"Kecuali kita melihat investasi
yang signifikan dan segera ke dalam deposit lithium besar yang layak secara
komersial, kekurangan ini akan meluas hingga akhir dekade ini," kata
Miller, dikutip Reuters, Jumat (2/7/2021).
Analis Roskill Information Services memperkirakan,
permintaan setara litium karbonat akan meningkat di atas 2 juta ton pada 2030,
meningkat lebih dari 4,5 kali lipat dari 2020.
Kobalt
Kandungan kobalt dalam baterai juga
telah berkurang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi
penjualan EV (baterai listrik) terus melonjak, sehingga permintaan untuk logam
minor diperkirakan akan meningkat secara keseluruhan.
Analis di Roskill memperkirakan, permintaan kobalt akan meningkat
menjadi 270.000 ton pada 2030 dari 141.000 ton tahun lalu.
Proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Indonesia disebut juga akan
membantu menutupi sebagian dari kekurangan tersebut.
Tetapi,
masalahnya, kobalt itu sebagian besar merupakan produk sampingan.
"Sulit untuk berinvestasi dalam
kapasitas spesifik kobalt karena merupakan produk sampingan. Tidak ada
mekanisme di mana pasokan dapat bereaksi terhadap permintaan dan harga,"
kata George Heppel, konsultan di CRU
International.
"Jika kita melihat ke pertengahan
2020-an, kita benar-benar bisa melakukannya dengan Katanga (tambang)
lain," imbuhnya.
Glencore mengharapkan, tambang Katanga di Republik Demokratik Kongo memproduksi 30.000
ton kobalt tahun ini.
CRU memperkirakan, permintaan kobalt dari kendaraan listrik mencapai lebih dari
120.000 ton, atau hampir 45% dari total, pada tahun 2025, dibandingkan dengan hampir 39.000 ton, atau 27%, pada tahun 2020.
Nikel
Berikutnya adalah kekhawatiran mengenai pasokan nikel.
Namun,
kekhawatiran tentang pasokan nikel untuk bahan baku baterai mereda setelah
produsen Nickel Pig Iron (NPI) China, Tsingshan Holding
Group, mengatakan akan mengubah NPI menjadi nickel matte, yang dapat digunakan membuat bahan kimia untuk
baterai.
"Sekarang, ada
proyek dengan total 300.000 ton per tahun untuk mengubah NPI menjadi produk
yang dapat diubah menjadi sulfat untuk baterai," kata analis Macquarie, Jim
Lennon.
Menurutnya, nikel itu berada di ambang
super siklus.
Bakal ada oversupply hingga setidaknya pertengahan 2020-an.
Lennon juga memperkirakan, proyek High Pressure Acid
Leaching (HPAL) di Indonesia akan menghasilkan antara 400.000 - 600.000
ton nikel per tahun untuk sebagian besar dekade ini.
Pasokan nikel global diperkirakan
sekitar 2,6 juta ton tahun ini.
Dari jumlah itu, sekitar dua
pertiganya akan digunakan untuk stainless
steel, sebagian besar di China, sementara konsumsi kendaraan listrik kurang
dari 10%.
Tsingshan mengatakan, pada bulan Maret akan memasok 100.000 ton nickel matte kepada pelanggan.
"Ada operator lain di Indonesia
yang bisa mengikuti Tsingshan,"
kata analis BoA Securities, Michael Widmer, yang memperkirakan pasokan NPI berkontribusi terhadap surplus pada 2024 dan 2025. [dhn]