WahanaNews.co | Kepulangan Muhammad Rizieq Shihab (MRS), pentolan Front Pembela Islam (FPI), ke Indonesia,
telah mendapat sorotan, termasuk dari media di luar negeri.
Kontroversinya mulai dari
pelanggaran protokol kesehatan saat disambut ribuan orang di bandara dan kegiatan
lainnya, hingga isi ceramahnya saat peringatan Mauild Nabi di Petamburan.
Baca Juga:
Analis: Bebasnya Rizieq Bisa Jadi Bara Politik 2024
Di sebuah video yang beredar di jejaring sosial, terdengar ia
berkali-kali menggunakan kata "lonte" saat membicarakan seorang
perempuan yang diduga adalah artis Nikita Mirzani.
"Ada lonte hina habib? Pusing pusing! Ampe lonte ikut-ikutan
ngomong iyee.." kata Rizieq,
seperti yang dilansir dari tayangan YouTube Front
TV.
Menteri Agama Fachrul Razi menyayangkan ceramah Rizieq, karena
menurutnya kata-kata kotor tidak pantas
keluar
dalam acara keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi. Banyak yang memaki, tapi
tak sedikit yang simpati dengan sosoknya.
Baca Juga:
Habib Rizieq Bebas Bersyarat, Apa Artinya?
Penjelasannya mungkin bisa ditemukan dalam penelitian berjudul In search of hegemony: Islamism and the
state in Indonesia,
disertasi yang ditulis Dr Luqman Nul Hakim, akademisi dari departemen Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan peneliti Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian (PSKP).
"Makin Religius" dan "Krisis Otoritas"
Dr Luqman menilai,
ada setidaknya dua faktor yang bisa dipakai untuk menjelaskan berkembangnya
model dakwah yang cenderung "atraktif" untuk massa.
Yang pertama, faktor perubahan sosial di kalangan masyarakat
secara umum, yang semakin religius.
"Tapi religius dalam konteks efek dari ketidakjelasan ekonomi
atau ketidakjelasan yang lain, sehingga orang cenderung lebih mudah untuk masuk
ke dalam model jamaah semacam itu."
"Ada model hijrah, ada model yang lain-lain, yang di bawahnya
sebenarnya adalah cerita tentang kelas menengah yang uncertain [tidak pasti], soal urban
poor [warga miskin kota] yang enggak ada jaminan sosial dan kemudian mudah
masuk ke kelompok-kelompok semacam ini," kata Luqman.
Faktor yang kedua adalah krisis di kalangan Islam itu sendiri
dalam hal otoritas.
"Dalam hal otoritas di Islam, ruang-ruang otoritatif untuk bicara agama
lebih banyak difasilitasi oleh media dan kemudian diisi oleh orang-orang yang
secara umum less religiously educated
[kurang teredukasi secara religi]," tambah Luqman.
Akademisi lulusan University of Melbourne ini menjelaskan, kondisi ini merupakan tantangan bagi otoritas
keagamaan Islam, karena berbeda dengan tradisi di Kristen atau Katolik yang
harus memenuhi kualifkasi tertentu sebagai pendakwah, namun tidak demikian
dengan Islam.
"Dalam konteks Islam, coba aja lihat di televisi. Konten dari
model ngobatin santet sampai motivasi semuanya mengklaim sebagai dakwah
Islam."
"Artinya menunjukkan betapa gelombang Islamisasi ini tidak
berbanding lurus dengan krisis di level otoritas sehingga gap [celah kosong] ini kemudian diisi oleh banyak hal, termasuk
juga salah satunya adalah Habib Rizieq," katanya.
Ketidakpuasan dan Rasa Tidak Percaya
Sementara itu, kepulangannya yang disambut oleh ribuan orang
dinilai Dr Luqman sebagai bukti jika manuver dan pengaruh Rizieq semakin besar.
Menurutnya,
ada ketidakpuasan secara umum, terutama di kalangan warga yang rata-rata kelas
ekonomi bawah,
terhadap kebijakan pemerintahan yang ada.
"Mereka punya distrust
[tidak percaya] terhadap rezim dan kebijakan-kebijakan yang ada, sementara pada
saat yang sama, tidak ada jalan lain yang siap untuk menyalurkan suara-suara
ini, terutama lewat partai politik."
Dalam konteks demokrasi sebenarnya ketidakpuasan bisa disampaikan
melalui partai politik, tapi saat ini Dr Luqman menilai tidak ada partai
politik yang bisa mewakili kegelisahan kelompok-kelompok ini.
"Mereka menganggap bahwa Rizieq bukan hanya soal imam besar
Islam," jelasnya.
"Kenapa massanya cukup besar, menurut saya ini kombinasi dari
basis tradisional FPI ditambah dengan limpahan yang besar dari
kelompok-kelompok yang tak puas dengan kondisi saat ini, tapi tidak punya cara
lain untuk mengartikulasikan lewat partai atau politisi, kecuali lewat Rizieq
dan FPI."
"Dalam konteks Jakarta, kajian-kajian yang dilakukan oleh Ian
Wilson dari Murdoch University menjelaskan bahwa melalui FPI orang bukan
kemudian sekedar hanya beragama dan beribadah... tapi juga punya akses-akses
kegiatan ekonomi sehari-hari..., misalnya soal lapangan kerja di lahan
parkir."
FPI adalah Aset Politik
Dr Luqman juga melihat kegamangan pemerintah dalam menghadapi
Rizieq, bukan hanya soal kepulangan, tapi bahkan sebelum ia pergi ke Saudi.
"Misalnya kita lihat beberapa pemberitaan bahwa orang-orang
pemerintah juga datang menemui Rizieq."
"Artinya ada sikap mendua juga di sana, ada sikap
hitung-hitungan, kalkulasi politik bahwa orang seperti Rizieq dan FPI meskipun
di satu titik tertentu kontraproduktif untuk proyek politik tertentu, tapi
dalam kesempatan lain masih berhitung bahwa Rizieq dan FPI masih bisa digunakan
untuk proyek politik yang lain."
Sikap mendua ini juga terlihat pekan lalu ketika Kodam Jaya
mengerahkan pasukan tempur untuk menurunkan spanduk Rizieq dan saat itu Pangdam
Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman juga mengancam pembubaran FPI.
"Kalau perlu, FPI bubarkan saja! Kok mereka yang atur. Suka
atur-atur sendiri," ungkap Dudung pada Jumat (20/11/2020).
Tetapi lima hari berselang, Dudung menyebut Rizieq sebagai
"orang yang berilmu".
"Habib Rizieq orang berilmu dan sebagainya, luar biasa, tidak
kemudian kita bermusuhan dengan dia, tidak," ucap Dudung, Rabu (25/11/2020).
Mayjen Dudung juga mengatakan jika ia tidak pernah mengajak orang
lain untuk menganggap FPI sebagai "musuh", namun sebagai
"saudara" yang harus dirangkul lewat dialog.
Bukan Ancaman bagi Demokrasi
Dr Luqman mengingatkan, pengerahan massa yang berbasis identityas
dalam sebuah demokrasi tidak bisa dilihat sebagai anti-demokrasi.
"Dalam konteks Indonesia, saya kira argumennya adalah bahwa
mobilisasi identitas itu tumbuh dari praktik demokrasi di Indonesia ketika
partai politik tidak berperan."
Menurutnya, organisasi keagamaan, khususnya Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, harus memikirkan bagaimana mengisi kekosongan dan menghadapi
perubahan sosial di tengah masyarakat.
"Kalau tidak, ini akan diisi oleh kelompok-kelompok yang lain
yang secara otoritas keagamaan mungkin bisa dipertanyakan, bahkan bisa saja
dieksploitasi oleh ideologi-ideologi yang mengajarkan kekerasan."
Partai politik juga harus berkaca, Dr Luqman mengatakan, selama
partai politik di Indonesia hanya bersifat elitis, termasuk hanya mencari
pemilih lima tahunan dalam konteks pemilu, maka konstituen politik yang ada
akan lebih cenderung mengalihkan penyaluran aspirasinya lewat jalur-jalur
informal yang ada.
"Bisa melalui organisasi seperti FPI, Pemuda Pancasila, atau
organisasi apapun yang mereka rasa jauh lebih memberikan dampak keuntungan
secara langsung terhadap kepentingan sehari-hari mereka," katanya. [qnt]