Kelompok elite ini sejajar dengan Delta Force di Angkatan Darat dan kerap melaksanakan operasi paling berbahaya di berbagai belahan dunia, termasuk menyamar sebagai pekerja sipil, awak kapal komersial, hingga pasangan diplomatik palsu untuk melacak target.
Jurnalis Sean Naylor bahkan pernah menulis buku komprehensif tentang JSOC pada 2015, mengungkap betapa brutalnya operasi yang dijalankan tim-tim ini.
Baca Juga:
Eskalasi Karibia: Jet Venezuela Provokasi Kapal AS, Washington Balas dengan Armada Tempur
Di balik drama misi gagal itu, diplomasi AS–Korea Utara kala itu sedang rapuh.
Trump yang sudah kembali menjabat untuk masa kedua, masih mencoba membangun komunikasi dengan Pyongyang meski lebih dingin dibanding periode pertamanya.
Surat Trump ke Kim Jong-un ditolak, menandakan dialog kian tertutup.
Baca Juga:
Trump Berencana Ganti Nama Departemen Pertahanan Jadi Departemen Perang
Tujuan negosiasi saat itu adalah perjanjian damai antara Korea Utara dan Korea Selatan, sesuatu yang diharapkan mampu mengakhiri ketegangan puluhan tahun di Semenanjung Korea.
Sebelumnya, Trump pernah meraih capaian besar lewat Perjanjian Abraham pada 2020 yang menormalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Timur Tengah.
Namun untuk Korea Utara, meski pernah menandatangani pernyataan bersama pada 2018 tentang denuklirisasi penuh, perjalanan diplomasi itu berhenti total ketika pandemi Covid-19 menghantam dunia.