WAHANANEWS.CO, Jakarta - Anggota parlemen Catherine Wedd dari Partai Nasional Selandia Baru mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yang bertujuan melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun mengakses media sosial.
Dikutip dari NZ Herald, Selasa (6/5/2025), RUU ini dinamai My Social Media Age-Appropriate Users Bill dan menitikberatkan pada perlindungan anak-anak dari dampak negatif penggunaan media sosial.
Baca Juga:
Kisah Nyata! Salah Naik Pesawat, Mahasiswa Ini Tersesat di Negeri Orang
Wedd menyatakan bahwa meski media sosial bisa menjadi sumber daya yang luar biasa, anak-anak menghadapi ancaman serius di dalamnya. "
Saat ini, kita tidak mengelola risiko ini dengan baik untuk anak-anak muda kita," ujarnya.
Perdana Menteri Christopher Luxon menyuarakan dukungan atas RUU tersebut, dengan alasan melindungi anak-anak dari perundungan, konten tidak pantas, dan potensi kecanduan.
Baca Juga:
Bertemu PM Slandia Baru, Presiden Prabowo Bahas Perdagangan Hingga Inovasi
Ia menekankan perlunya pembatasan di dunia maya yang sebanding dengan perlindungan di dunia nyata demi keselamatan anak-anak.
RUU ini akan mewajibkan perusahaan media sosial untuk menerapkan sistem verifikasi usia pengguna agar bisa mengakses layanan mereka.
Hingga kini, Selandia Baru belum memiliki kebijakan hukum yang mengatur verifikasi usia secara efektif.
Wedd berharap RUU ini dapat diadopsi sebagai RUU Pemerintah agar mendapat dukungan dan sumber daya yang lebih besar.
Ia menyebutkan bahwa banyak orang tua dan kepala sekolah kesulitan mengawasi akses media sosial anak-anak mereka.
Wedd juga menuturkan bahwa rancangan ini terinspirasi dari langkah serupa yang diambil Australia, yang telah mengesahkan Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Bill pada 2024.
Undang-undang tersebut akan berlaku pada akhir 2025, dan mengharuskan platform media sosial untuk menerapkan sistem verifikasi usia.
Luxon menambahkan bahwa meski RUU ini berasal dari Partai Nasional, ia membuka pintu kerja sama dengan partai lain demi memperluas dukungan.
Pemimpin Partai Buruh, Chris Hipkins, menyatakan simpati terhadap tujuan yang ingin dicapai melalui RUU ini.
Namun, ia mengkhawatirkan efektivitas penerapannya karena statusnya sebagai RUU anggota parlemen, bukan RUU Pemerintah.
Jika perusahaan media sosial tidak mematuhi aturan ini, mereka berpotensi dikenai denda besar. Meski demikian, respons publik beragam.
Beberapa orang tua dan kelompok advokasi mendukung langkah ini sebagai bentuk perlindungan anak.
Namun, sejumlah pihak menilai aturan tersebut bisa mendorong remaja mencari alternatif platform yang tidak diatur atau memperparah isolasi sosial.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]