WAHANANEWS.CO, Jakarta - Asia Tenggara kini berada di titik krusial dalam perebutan pengaruh antara dua raksasa dunia: China dan Amerika Serikat. Persaingan keduanya makin terasa dalam berbagai aspek, dari keamanan hingga perdagangan, dan negara-negara ASEAN pun mulai menunjukkan kecenderungan strategis yang mengejutkan.
Sebuah survei terbaru dari ISEAS-Yusof Ishak Institute mengungkap pergeseran besar: untuk pertama kalinya, mayoritas responden dari kawasan Asia Tenggara lebih memilih China daripada AS sebagai mitra utama mereka.
Baca Juga:
Bulan Penuh Drama: Deretan Tontonan Seru dari Negeri Tirai Bambu
Sebanyak 50,5% responden menyatakan memilih China, sementara hanya 49,5% yang masih berpihak ke Amerika.
Di antara negara yang mengalami perubahan signifikan adalah Indonesia dan Malaysia. Dukungan terhadap AS di Indonesia anjlok dari 46% menjadi hanya 26,8%.
Di Malaysia, hanya 24,9% responden yang mendukung AS, turun tajam dari 45% tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan naiknya persepsi positif terhadap Beijing, baik dari sisi masyarakat maupun kalangan pengambil kebijakan.
Baca Juga:
Gawat! Jet Tempur Rafale Gagal Total, Armenia Siap Beli Jet Super Sukhoi dari India
Namun demikian, dukungan terhadap AS tetap solid di beberapa negara lain. Filipina, Vietnam, dan Singapura menunjukkan preferensi kuat terhadap Washington.
Di Filipina, misalnya, lebih dari 80% responden menyatakan tetap setia kepada Amerika Serikat, terutama karena hubungan pertahanan yang erat di tengah konflik Laut China Selatan.
China dinilai unggul berkat kekuatan ekonominya. Investasi masif dalam infrastruktur, posisi sebagai mitra dagang utama, serta peran dominan dalam rantai pasok menjadikan negeri Tirai Bambu ini makin sulit diabaikan.
Meski begitu, pengaruh China tidak lepas dari kekhawatiran. Banyak responden mengaku waspada terhadap dominasi Beijing, terutama jika kekuatan ekonomi atau militernya digunakan untuk menekan negara lain.
Keunggulan ekonomi bukan jaminan kepercayaan mutlak.
Menariknya, di tengah tarik-menarik dua kekuatan besar, banyak negara di Asia Tenggara masih memegang prinsip netralitas. ASEAN dinilai sebagai platform strategis untuk menjaga keseimbangan dan menghindari keterjebakan dalam konflik besar.
Fokus publik kini juga semakin bergeser ke isu-isu domestik dan global seperti perubahan iklim, stabilitas ekonomi, serta konflik yang membara di Timur Tengah.
Sebagai bukti dominasi ekonomi China, nilai perdagangan antara ASEAN dan China melonjak drastis dari US$ 39,52 miliar pada 2014 menjadi US$ 982,7 miliar pada 2024, naik lebih dari 2.300%.
Sebaliknya, perdagangan ASEAN dengan Amerika Serikat hanya tumbuh sekitar 193,7% dalam periode yang sama.
Fakta ini mempertegas bahwa kawasan Asia Tenggara tengah berada dalam transformasi strategis besar-besaran, berusaha menemukan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kedaulatan politik di tengah kompetisi dua adidaya dunia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]